Selasa, 10 Juli 2012

Pola Adaptasi Manusia Terhadap Ketinggian


 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Adaptasi
Adaptasi adalah proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Adaptasi merupakan proses perubahan dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan. Perubahan ini dapat berlangsung secara lambat maupun cepat dikarenakan faktor alam maupun akibat dari manusia. Penyesuaian ini yang mengakibatkan makhluk hidup dapat bertahan lama. Karena banyak berhubungan dengan lingkungan maka ekologi merupakan faktor utama. Adaptasi ini akan berlangsung terus-menerus untuk tetap dapat bertahan hidup.
Dari berbagai macam proses dan pola adaptasi maka akan terjadi seleksi. Hal ini akan mempengaruhi mortalitas(kematian) dan natalitas(kelahiran). Jika suatu organism lebih besar mortalitas dari pada natalitas maka dapat disimpulkan organism tersebut tidak bisa beradaptasi dengan baik atau katagori maladaptive. Hanya organism yang bisa berkembang biak dan survive lah yang dapat dikatagorikan organism adaptif.
Macam-macam adaptasi adalah adaptasi biologis, fisiologis dan genetic. Contoh adaptasi biologis pada masyarakat di daerah ketinggian yakni banyaknya produksi hemoglobin dalam darah untuk membantu proses pengikatan oksigen dalam darah. Ini dikarenakan di daerah ketinggian sangat minim kadar oksigennya.

2.2  Mekanisme Adaptasi
Pada kenyataannya setiap proses adaptasi akan menimbulkan stress terhadap organism itu. Adaptasi sendiri merupakan hubungan yang kompleks melibatkan fisiologi, biologi dan aspek social-budaya untuk menghadapi tekanan eksternal yang ada. Tekanan ini dapat dapat berlangsung dalam waktu yang lam maupun cepat. Proses adaptasi bertujuan untuk mengurangi stress terhadap lingkungan dalam rangka penyesuaian diri untuk suatu proses yang menguntungkan organism itu sendiri.
3
 
Berdasarkan sifatnya adaptasi dapat dibedakan menjadi dua yakni adaptasi biologi dan adaptasi budaya. Adaptasi biologi adalah adaptasi yang terjadi pada keseluruhan tubuh atau bagian tubuh manusia dalam mempertahankan fungsi normalnya sehingga ada yang lebih menyukai dengan menyebutnya sebagai adaptasi fungsional. Sedang adaptasi budaya meliputi adaptasi dalam tingkah laku, sosial serta peralatan yang merupakan respon non biologis. Konsep adaptasi ini berlaku pada populasi maupun individu. Kedua adaptasi ini bermaksud untuk mencapai keadaan homeostatis yakni, kemampuan organisme untuk mencapai stabilitas lingkungan. Pada awalnya setiap stimulus yang diterima akan diperoses untuk mengembalikan homeostatis internal/dalam tubuh. Jika, secara internal sudah bisa merespon maka umpan balik berupa stimulus terhadap eksternal akan berlangsung. Homeostatis yang menghasilkan maladaptive akan menurunkan kapasitas organism. Manusia  adalah homeothermic artinya manusia dapat memelihara temperatur dalam tubuh secara konstan tidak tergantung pada temperatur lingkungan. Keseimbangan didapatkan dari mekanisme integrasi yang memproduksi dan mengatur transfer panas dari organ internal ke periferi.
2.2.1            
4
 
Adaptasi Fungsional
Adaptasi fungsional melibatkan perubahan dalam fungsi sistem organ, histologi, morfologi, komposisi biokimia, anatomi, dan komposisi tubuh manusia. Perubahan ini dapat terjadi melalui:
Ø  Aklimatisasi
Merujuk pada perubahan yang terjadi pada masa hidup seseorang yang berfungsi untuk mengurangi ketegangan disebabkan oleh tekanan perubahan iklim atau perubahan lingkungan secara kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode pertumbuhan organisme, proses ini disebut adaptasi perkembangan atau aklimatisasi perkembangan.
Ø  Aklimasi
Merujuk pada perubahan adaptasi biologis sebagai respons terhadap tekanan tunggal perubahan lingkungan.
Ø  Habituasi
Mengimplikasikan reduksi gradual dari respons terhadap pengulangan stimulasi atau persepsi terhadap pengulangan stumulasi. Habituasi tergantung dari pembelajaran dan pengkondisian yang memungkinkan seseorang mentransfer respons yang sudah ada menjadi stimulus baru. Misalnya pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk keseluruhan organisme (habituasi umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian tertentu dalam organisme (habituasi spesifik).
Perubahan fisiologi terjadi lebih cepat dari pada perubahan genetik dan lebih sering reversible(tampak mata). Perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat berupa penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang. Terdapat tiga tingkatan adaptasi fisiologis, yaitu aklimasi, merupakan penyesuaian jangka pendek terhadap stress lingkungan yang terjadi secara cepat sedangkan aklimatisasi merupakan penyesuaian lebih jauh tetapi masih merupakan respon reversible terhadap perubahan untuk jangka waktu yang lebih lama.
2.2.2              
5
 
Adaptasi Budaya
Adaptasi budaya adalah adaptasi nonbiologis manusia untuk bertahan hidup. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang hidup dengan berbagai budaya yang mereka ciptakan berdasarkan pemikiran mereka. Sebagai contoh adaptasi budaya manusia terhadap perbedaan iklim adalah budaya berbusana. Untuk masyarakat di daerah tropisa atau dekat dengan pantai mereka cenderung memakai pakaian yang tipis. Sedangkan yang berada di daerah dingin atau pegunungan cenderung memiliki kebiasaan memakai pakaian tebal biasanya dari bulu binatang. Jadi, hasil cipta, karya dan karsa mereka dipengaruhi oleh berbagai hal. Dalam perspektif evolusi, adaptasi budaya menunjukkan alat terpenting dalam kehidupan manusia. Melalui adaptasi budaya manusia survive dan dapat tersebar ke berbagai penjuru dunia. Adaptasi manusia saat ini bisa jadi tidak akan sama dengan masa akan datang. Tetapi manusia akan terus belajar untuk menyesuaikan diri terhadap kapasitas budaya dan biologis mereka.
2.2.3               Adaptasi Genetik
Merujuk pada karakteristik turunan tertentu yang mempunyai toleransi dan survival baik secara individu maupun populasi. Adaptasi genetic akan sempurna dengan adanya seleksi alam. Seleksi alam adalah mekanisme dimana genotipe seseorang yang menunjukkan kemampuan adaptasi atau fitness akan mengurangi resiko mortalitas dan menambah fertilitas. Sebaliknya gen yang tidak adaptive akan memberi sedikit pengaruh terhadap gene pool. Adaptasi populasi saat ini adalah hasil dari adaptasi masa lalu dan adaptasi saat ini. Kapasitas ini memungkinkan manusia sampai pada keseimbangan dinamik biologis manusia

2.3  Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi manusia terhadap ketinggian relatif sebagian kecil dari populasi dunia, hanya sekitar 25 juta orang atau kurang dari 1 % masyarakat di dunia tinggal di tempat yang tinggi. Beberapa daerah di dunia yang mempunyai ketinggian di atas 3000 m dpl yang dihuni oleh manusia antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Pegunungan Rocky di Amerika Serikat dan Canada
2.      Sierra Madre di Meksiko
3.      Pegunungan Andes di Amerika Selatan
4.      Pegunungan Pyrenes di antara Prancis dan Spanyol
5.     
6
 
Jajaran Pegunungan Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan
6.      Pegunungan Himalaya
7.      Dataran Tinggi Tibet dan China Selatan
8.      Pegunungan Atlas di Moroko
9.      Dataran Tinggi di Ethiopia
10.  Pegunungan Tinggi Kalimanjaro di Afrika Timur
11.  Dataran Tinggi Basuto di Afrika Selatan
12.  Pegunungan Tien Shan di Rusia
Dataran tinggi tibet dan Andes ditempati oleh ras mongoloid. Penelitian antropometrik dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian Andes mempunyai dada, paru-paru dan jantung yang besar serta darah dengan rasio korpuskulum darah merah yang tinggi. Bentuk adaptasi lainnya dari tubuh mereka adalah massa badan lebih tinggi dari pada permukaan badan. Ini untuk mencegah hilangnya panas yang berlebihan dalam tubuh.
Penduduk yang mendiami daerah tinggi mengalami adaptasi dasar, yaitu :
1.      Perubahan fisiologis jangka pendek
2.      Modifikasi selama pertumbuhan dan perkembangan
3.      Modifikasi gen
Penduduk yang tinggal di pegunungan tinggi menggunakan obat-obatan seperti alkohol dan coca (tanaman yang menghasilkan narkotika kokain). Di Indonesia juga mempunyai kebiasaan meminum arak tradisional untuk menghangatkan badan juga berguna untuk mengurangi beban psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi membuat penyesuaian anatomis dan fisiologis yang khas, yang memberinya kapasitas untuk dapat bekerja pada udara pegunungan yang tipis. Mereka kebanyakan mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih lambat dan volume thoraks yang besar, dada yang membulat dan tulang sternum yang panjang mengakomodasi paru-paru yang lebih besar di dalam costae dan sternum. 

2.4  Stress Lingkungan Terhadap Ketinggian
Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang berbeda dengan dataran rendah, baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen, topografi, cuaca, jenis dan komposisi tanah, habitat, dan sebagainya yang kesemuanya menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang berbeda. Stress lingkungan ini akan timbul sebelum adaptasi ini dilakukan. Stressor akan memicu penyesuaian terhadap kondisi tubuh. Jika stressor terlalu kuat dan terjadi dalam waktu singkat maka sulit bagi tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrem. Phyle dalam Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya:
7
 
1.    Hipoksia
2.    Barometer rendah
3.    Radiasi matahari tinggi
4.    Suhu udara dingin
5.    Kelembaban udara rendah
6.    Angin kencang
7.    Nutrisi terbatas
8.    Medan yang terjal
Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan udara juga menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan tekanan dan kadar oksigen rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam adaptasi fisik maupun fisiologis manusia yang tinggal di tempat tinggi. Tekanan atmosfer yang rendah pada tempat tinggi menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat dimodifikasi oleh campur tangan manusia hingga abad ini.

2.5  Hipoksia Ketinggian
Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia. Hipoksia yaitu kondisi simtoma kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan ketinggian. Pada kasus yang fatal dapat berakibat koma, bahkan sampai dengan kematian. Namun, bila sudah beberapa waktu, tubuh akan segera dan berangsur-angsur kondisi tubuh normal kembali. Gejala yang tampak pada hipoksia antara lain mual, nafas pendek, dan pusing. Hipoksia pada tempat tinggi merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh manusia dengan respon budaya maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ dipengaruhi oleh hipoksia.
Berdasarkan azas Le-Chatelier, dengan berkurangnya gas oksigen berarti kesetimbangan akan bergeser ke kiri, dan berakibat kadar HbO2 di dalam darah menurun. Akibat yang ditimbulkan dari keadaan tersebut, suplai oksigen ke seluruh jaringan akan berkurang. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya rasa mual dan pusing, serta perasaan tidak nyaman pada tubuh. Kondisi tersebut akan mengakibatkan tubuh berusaha beradaptasi dengan memproduksi hemoglobin sebanyak-banyaknya. Dengan meningkatnya konsentrasi hemoglobin akan menggeser kembali kesetimbangan ke kanan dan HbO2 akan meningkat kembali seperti semula. Penyesuaian ini berlangsung kurang lebih 2-3 minggu.
8
 
Dari penelitian, diketahui bahwa kadar hemoglobin rata-rata penduduk yang bertempat tinggal di dataran tinggi akan memiliki hemoglobin lebih tinggi dari pada penduduk yang bertempat tinggal di dataran rendah.
Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama tergantung pada tekanan parsial oksigen di atmosfer, yang secara proporsional menurun dengan bertambahnya ketinggian. Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03 % CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas ini bersama-sama mempunyai tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan barometer. Tekanan tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya, sehingga tekanan oksigen sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer berkurang menjadi 493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan dengan permukaan laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91 mmHg atau turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan berkurangnya kandungan oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan oksihemoglobin dalam darah tergnatung pada tekanan parsial oksigen dalam alveoli.
Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa setelah mampu membuat pesawat terbang pertama kalinya dan terbang dengan ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, terutama pesawat militer untuk peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian lebih dari 3.000 m (10.000 kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2) dengan cepat turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori. Resiko klinis hipoksia akut pada ketinggian di atas 10.000 kaki juga kemudian diketahui terutama pada penerbangan unpressured cabin (kabin tanpa rekayasa udara). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya yaitu penurunan kemampuan terhadap adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung, tekanan sistolik pada tekanan darah, dan cardiac output. Sedangkan jika berlanjut terus akan terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya pandangan sentral dan perifer, termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran yang terganggu. Demikian juga kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang. Pada tahapan yang kritis setelah terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan berlangsung hilang dan pada tahap akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti napas.
Tingkat mengurangi difusi oksigen dari udara ke darah dalam alveoli yang menyertai penurunan tekanan udara memicu berbagai respon fisiologis. Mekanisme ini berusaha untuk mengimbangi pasokan oksigen berkurang dengan meningkatkan efisiensi penyediaan oksigen dan gunakan untuk jaringan tubuh pada setiap langkah dari proses. Sebagai perubahan Akibatnya fisiologis terjadi pada ventilasi dalam paru-paru, difusi oksigen dari udara ke darah di paru-paru, transportasi oksigen dalam darah, difusi oksigen dari darah ke jaringan, dan penggunaan oksigen pada jaringan. Dengan hiperventilasi, hilangnya berlebihan karbon dioksida dari darah meningkatkan pH (ke arah basa) yang, pada gilirannya, mengurangi stimulasi pusat pernafasan menyebabkan penurunan ventilasi dan penyerapan oksigen. Hal ini menghasilkan lingkaran umpan balik positif dalam siklus respirasi meningkat dan menurun. Selama aklimatisasi, ginjal mengeluarkannya bikarbonat ke dalam air kemih yang kemudian diserap dalam darah untuk mempertahankan pH normal pada tekanan parsial karbon dioksida yang lebih rendah (24-48 jam setelah).
9
 
Radak et al mengemukakan hasil penelitian tentang perubahan aktivitas enzim antioksidan dan kenaikan level peroksida lipid pada serta. Hasil serupa ditunjukkan pada studi manusia yang dilakukan oleh Moller et al (2001). Sebanyak 12 sukarelawan dipajankan pada ketinggian 4559 m yang berakibat kerusakan pada DNA dan kenaikan peroksida lipid. Pada studi operasi Everest III, pada ketinggian 6.000 m kenaikan peroksida lipid sebanyak 23 % dan menjadi 79 % pada ketinggian 8848 m menunjukkan kenaikan level kerusakan oksidatif sejalan dengan peningkatan ketinggian. Pada level seluler, hipoksia dapat mengakibatkan stress oksidatif pada sel. Sel menghasilkan energy melalui reduksi molekul O2 menjadi H2O. Dalam proses metabolism normal, molekul-molekul oksigen reaktif yang tereduksi dihasilkan dalam jumlah kecil sebagai produk sampingan respirasi mitokondrial. Molekul-molekul oksigen reaktif tereduksi ini dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS). Sel memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah kerusakan akibat molekul ini yang dikenal sebagai sistem antioksidan. Ketidakseimbangan antara proses pembentukan dan eliminasi (scavenging) radikal bebas berakibat pada stress oksidatif.
Seseorang yang belum lama berada pada tempat tinggi akan mengalami adaptasi fisiologis yang merupakan efek permulaan dan respon cepat terhadap hipoksia. Menurut Frisancho (1979) dalam Tutiek Rahayu, efek fisiologis hipoksia sangat kompleks dan bermacam-macam, yang meliputi :
10
 
1.         Fungsi Paru-Paru
Efek fisiologis pada paru-paru berupa bertambah besarnya ventilais paru-paru seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat. Volume respirasi per menit pada ketinggian 5000 m naik sekitar 45-69% daripada di daerah permukaan laut. Menurut hasil penelitian saat ini, kenaikan ventilasi paru-paru disebabkan oleh stimulasi badan varoid dan kemoreseptor lainnya oleh hipoksemia. Sebagai akibat dari kenaikan ventilasi pembuangan karbondioksida juga meningkat, yang menyebabkan terjadinya alkalosis respiratorik.
2.         Fungsi Sirkulasi pada Jantung
Dengan bertambahnya hipoksia kecepatan denyut jantung bertambah dari rerata 70 detak per menit menjadi sekitar 105 per menit pada ketinggian 4500 m. Jam-jam pertama setelah tiba pada ketinggian tertentu, denyut nadi saat istirahatmenurun dan kemudian meningkat, pada ketinggian 2000 m peningkatan adalah 10% dan pada ketinggian 4500 m adalah 50%.
3.         Darah
Meliputi kenaikan produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin, kenaikan volume darah serta aktivitas erythropoietik. Pada ketinggian 5000 m jumlah sel darah merah naik dari 5 juta menjadi 7 juta per mm3, kenaikan terjadi pada hari ke 7-14 setelah berada pada ketinggian tersebut. Volume darah bertambah dari 40ml/kg menjadi 50 ml/kg pada ketinggian 4540 m selama 1-3 minggu. Kenaikan produksi sel darah merah tersebut disebabkan oleh kenaikan aktivitas erythropoietik
4.         Sirkulasi Retinal
Setelah 2 jam berada di ketinggian 5330 m diameter arteri dan vena retinal akan naik sekitar seperlimanya.
5.         Sensitivitas Cahaya
Semakin tinggi tempat semakin besar penurunan sensitivitas cahya. Pada ketinggian diatas 4500 m, dibutuhkan sekitar 2,5 kali intensitas normal pada dpl untuk cahaya agar bisa nampak.
6.         Memori dan Pembelajaran
Memori akan menurun dengan bertambahnya ketinggian terutama diatas 3660 m.
7.         Pendengaran
11
 
Mempunyai sensitivitas paling rendah terhadap hipoksia. Penurunan ketajaman pendengaran dapat terjadi pada ketinggian lebih dari 6000 m.
8.         Fungsi Motorik
Pada ketinggian lebih dari 4500 m dilaporkan terdapat gejala kelemahan dan inkoordinasi muskuler yang belum jelas disebabkan oleh penurunan kapasitas fungsional otot itu sendiri atau ketiadaan stimulasi otot.
9.         Perasa dan Pengecap
Berada pada tempat tinggi mempengaruhi pemilihan makanan, pada umumnya lebih suka memilih gula dan keinginan untuk lemak menurun. Rasa manis gula berkurang pada tempat tinggi dan dibutuhkan sekitar dua kali jumlah normal untuk rasa manis yang sama di daerah rendah.
10.     Anoreksia dan Kehilangan Berat Badan
Penurunan berat badan disebabkan oleh penurunan konsumsi makanan dan juga oleh kehilangan air badan. Salah satu akibat utama anoreksia adaah ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar.
11.     Aktivitas Ginjal
Terjadi kenaikan aktivitas pada korteks dan medulla ginjal, reduksi sekresi aldosteron dan kenaikan kadar renin dalam plasma
12.     Fungsi Tiroid
Berada pada tempat tinggi menyebabkan penurunan fungsi tiroid serta retensi iodium.
13.     Sekresi Testosteron
Berada pada ketinggian 4250 m selama 3 hari pertama menyebabkan penurunan sekresi testosteron lebih dari 50% yang disebabkan oleh turunnya Luiteinizing Hormon dalam plasma
14.     Fungsi Seksual
Meliputi penurunan spermatogenesis, perubahan histologis pada testis, terganggunya seklus estrus dan meningkatnya gangguan menstruasi
Toleransi terhadap tempat tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu umur, ketahanan fisik, dan jenis kelamin. Individu yang masih muda lebih baik dalam melakukan adaptasi daripada yang sudah tua, ini disebabkan karena fungsi metabolisme tubuh pada usia muda masih baik juga mobilisasi air plasma dalam ruang interstitial atau ekstraseluler. Individu dengan ketahanan fisik yang tinggi memberi toleransi terhadap stress hipoksia lebih baik. Perempuan melakukan adaptasi terhadap ketinggian dengan lebih baik daripada laki-laki. 
2.6 
12
 
Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
2.6.1           Adaptasi Fungsional
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan dengan menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang berkembang secara gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk perkembangan yang lengkap. Frisancho  (1979) menyebutkan beberapa mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :
a.     Ventilasi paru-paru.
b.    Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.
c.     Transport oksigen dalam darah.
d.    Difusi oksigen dari darah ke jaringan.
e.     Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak lahir atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada subjek yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al 1995 dalam Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada tempat tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.
Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap individu. Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh.
Salah satu penyebab stress lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan udara yang rendah yang menjadi faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.
Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level (21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling berjauhan. Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2 yang menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru menuju darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk memasuki sistem vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan oksigen.
13
 
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon fisiologis yang efisien. Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua kali lipat walapun saat istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Kemudian tubuh mulai membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi. Sel darah merah lebih banyak diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang untuk memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan vaskularisasi otot yang memperkuat transfer gas.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat. Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.

2.6.2           Adaptasi Budaya
Adaptasi ini adalah kebiasaan-kebiasaan penduduk untuk menyikapi keadaan alamnya sehingga terbentuklah kebudayaan-kebudayaan. Dengan kata lain, adaptasi budaya yaitu respon nonbiologis individu atau populasi untuk memodifikasi atau mengurangi stess lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan hidup dan mendiami jauh ke kondisi lingkungan yang ekstrim. Manusia adalah satu-satinya makhluk yang mempunyai kebudayaan, seperti membuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk berkomunikasi,  serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi lingkungan. Tidak seperti makhluk lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi terhadap lingkungan dengan biologi dan raganya. Wujud adaptasi budaya manusia misalnya :
14
 
a.       Konstruksi rumah
Konstruksi rumah di dataran tinggi biasanya dibangun dengan tembok yang lebih tebal atau dari kayu untuk menjaga kehangatan suhu ruangan. Ventilasi dan jendela besar, kadang banyak agar sirkulasi udara baik mengingat tekanan oksigen di daerang tinggi relatif kecil.
b.      Penggunaan pakaian pada bermacam-macam iklim
Penduduk yang tinggal di daerah tinggi dengan hawa dingin menggunakan pakaian yang tebal untuk menghindari hilangnya pengeluaran panas yang berlebihan dari tubuhnya.
c.       Pola tingkah laku tertentu
Penduduk di daerah tinggi cenderung lebih sering berjalan kaki jauh daripada yang tinggal di daerah perkotaan sehingga lebih kuat berjalan kaki.
d.      Pengobatan dari cara primitif sampai cara modern
Penggunaan informasi budaya yang dilakukan oleh kelompok sosial dan ditransformasikan melalui pembelajaran pada tiap generasi merupakan salah satu bentuk respon adaptif yang berkembang pesat pada manusia, contoh salah satu aspeknya adalah perkembangan sistem medis.
e.       Kebiasaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim
Kenaikan produksi energi yang menyertai revolusi industri dan pertanian.
Budaya dan teknologi mempermudah adaptasi biologi, tetapi juga menciptakan dan terus menciptakan kondisi stress baru yang membutuhkan respon adaptasi baru pula. Suatu modifikasi kondisi lingkungan dapat dihasilkan oleh perubahan yang lainnya, misalnya kemajuan dalam ilmu pengetahuan kedokteran dengan sukses mengurangi kematian bayi dan orang dewasa pada tingkat di mana populasi dunia tumbuh pada kecepatan eksplosif dan meskipun sumber makanan bertambah, tetap akan terjadi kelaparan.
Teknologi barat meskipun menaikkan standar hidup juga menciptakan polusi lingkungan yang menjadikan hidup dan kesehatan tidak bagus lagi. Jika proses ini berlangsung terus tanpa kontrol, polusi lingkungan akan menjadi suatu kekuatan selektif lain yang menuntut manusia harus beradaptasi melalui proses biologis dan budaya jika tidak maka, akan mengalami kemusnahan. Adaptasi yang dilakukan manusia pada dunia sekarang mungkin tidak sesuai lagi dengan bentuk pertahanan hidup di dunia pada masa yang akan datang, kecuali manusia belajar untuk menyesuaikan budaya dengan kapasitas biologisnya.
15
 
 

2.7  Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pada Ketinggian
2.7.1           Pertumbuhan dan perkembangan prenatal
Pada daerah tinggi, struktur prenatal terutama plasenta mengalami penyesuaian dikarenakan stress lingkungan tempat tinggi, yaitu dengan menambah luas permukaan yang menyediakan proses difusi oksigen dan transfusi darah ibu dari fetus, serta dengan mengurangi resistensi barier plasenta terhadap transfer oksigen. Penelitian menunjukkan bahwa bentuk plasenta yang irreguler terdapat tiga kali lebih banyak pada tempat tingi dari pada di daerah permukaan laut dan berat plasenta rata-rata antara 10-15% lebih berat. Dengan modifikasi tersebut menghasilkan reduksi hampir setengah dari gradien tekanan oksigen antara darah ibu dan fetus, dan konsentrasi oksigen mencapai darah fetus per kg jaringan yang disuplai mendekati nilai pada daerah permukaan.
Penelitian di daerah tinggi Bolivia dan Himalaya Barat menunjukkan bahwa bayi yang lahir didaerah tinggi cenderung mempunyai berat lahir yang rendah. Rata-rata berat lahir tidak mencapai 2500g. Di daerah Bolivia, bayi yang lahir dengan berat lahir rendah mempunyai angka mortalitas lebih rendah daripada yang lahir dengan berat rendah di daerah pantai. Ini merupakan bentuk adaptif di daerah tinggi dimana kadar oksigen rendah.
2.7.2           Pertumbuhan dan perkembangan postnatal
Pertumbuhan dan perkembangan di daerah tinggi cenderung mengalami penundaan. Penelitian secara mikroskopis menemukan bahwa kemunduran pertumbuhan yang disertai hipoksia tempat tinggi disebabkan oleh jumlah sel yang lebih sedikit, sedang yang disertai malnutrisi disebabkan oleh penurunan jumlah sitoplasma. Penelitian lain menunjukkan bahwa hipoksia mempengaruhi multiplikasi seluler dan protein otak. Penelitian pada populasi Andes seperti dari dataran tinggi Peruvia, Chili dan Bolivia menunjukkan terdapatnya penundaaan pertumbuhan postnatal dibandingkan dengan populasi daerah rendah dibawah kondisi nutrisi dan status ekonomi yang sebanding.
Pertumbuhan anak-anak pada daerah tinggi dan daerah pantai tidak menemukan adanya perbedaan dalam kecepatan pertumbuhan pada kedua populasi dan menduga bahwa hipoksia pada tempat tinggi mempunyai peranan yang relatif kecil dalam pertumbuhan selama 5 tahun pertama setelah kelahiran dan nampaknya yang lebih berperan adalah faktor nutrisi dan penyakit.
16
 
Faktor nutrisi berperan secara signifikan terhadap pola pertumbuhan dan menunjukkan bahwa kekuatan sosial dan lingkungan bekerjasama untuk menciptakan tingkat perbedaan dari stress yang berperan terhadap variasi biologi manusia. Penelitian pada populasi Nunoa di Peru, menemukan bahwa variasi dalam pertumbuhan diantara populasi yang tinggal di tempat tinggi dapat dihasilkan dari beberapa faktor yaitu perbedaan tingkat hipoksia ketinggian, perbedaan genetik, nutrisi dan sosioekonomi.
Pola pertumbuhan dan perkembangan di tempat tinggi merupakan refleksi interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh besar yaitu hipoksia, dingin dan energi (nutrisi).

2.8  Aklimatisasi Terhadap Ketinggian
Setelah beberapa waktu tinggal di ketinggian terjadilah penyesuaian dengan iklim lingkungan setempat (aklimatisasi). Ventilasi paru terus meningkat dan juga terjadi peningkatan progresif dari jumlah eritrosit dan Hb dalam beberapa bulan yang akan membantu memulihkan kandungan O2 dan transportasinya. Juga terdapat peningkatan kapilarisasi dan konsentrasi enzym-enzym oksidatif dalam otot-otot yang akan berperan meningkatkan performance. Perubahan-perubahan adaptif ini meningkatkan kemampuan endurance, tetapi tidak akan pernah mencapai nilainya di permukaan laut. Waktu untuk terjadinya aklimatissi penuh tergantung pada ketinggian dan bersifat individual. Diperlukan waktu sekitar 3 minggu untuk beraklimatisasi terhadap ketinggian sedang (2300-2700 m). Walaupun telah diperlukan waktu untuk terjadinya penyesuaian-penyesuaian ini, pada ketinggian 2300 m konsumsi O2 maximal tetap turun 6-7% di bawah nilai yang dapat diperoleh di permukaan laut. Hal ini berarti bahwa proses aklimatisasi memulihkan 3-4% kemampuan penampilannya. (Ingat: nilai konsumsi O2 max menurun 3% untuk setiap kenaikan 300 m di atas ketinggian 1500 m). Tetapi di atas 6000 m aklimatisasi tidak mungkin dan dengan pemaparan yang lama orang akan mengalami kemunduran, kehilangan berat badan dan kemampuan penampilannya.

2.9  Patofisiologi Terhadap Ketinggian
Patofisiologi ketinggian yang dimaksud adalah penyakit fisiologis yang disebabkan oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti mountain sickness akut dan edema pulmoner. Mountain sickness akut terjadi selama beberapa hari pertama berada pada hipoksia tempat tinggi. Gejalanya umumnya meliputi anoreksia, mual dan muntah, kelelahan fisik dan mental, gangguan tidur dan sakit kepala. Sementara edema pulmoner mempunyai ciri patologis seperti edema yang tersebar luas pada alveoli, penyumbatan ekstensif kapiler dengan bekuan sel darah merah dan konstriksi vaskuler pulmoner. Penyebabnya diduga karena kenaikan tekanan kapiler.
17
 
Pendakian yang cepat ke ketinggian sedang dan yang lebih tinggi, sering disertai dengan berbagai gejala penyakit, diantaranya sebagai berikut :
1.      Penyakit Gunung Akut
kondisi yang sering dialami pada 4-72 jam pertama pada ketinggian di atas 2000 m. Hal ini disertai dengan gejala-gejala misalnya sakit kepala, mudah tersinggung, susah tidur, pusing, mual, tak ada nafsu makan dan muntah. Berat gejala-gejala tersebut bagian terbesarnya tergantung pada kecepatan pendakian. Penyakit gunung akut (PGA) dapat diminimalkan bila pendakian dari ketinggian rendah (<1500 m) ke ketinggian sedang (>2000 m) berlangsung lambat meliputi beberapa hari, asupan cairan dan karbohidrat dalam tata-gizi ditingkatkan dan program latihan diatur pada tingkat yang ringan. Biasanya penyakit itu hanya berlangsung untuk 2-3 hari. Acetazolamide (Diamox = sejenis diuretika) terbukti dapat meminimalkan kejadian PGA (Sutton et al. 1979).
2.      Udema Paru Pada Ketinggian Tinggi
Kegawatan medis dan memerlukan pertolongan segera dan bila mungkin dievakuasi. Perjalanan waktunya sama dengan PGA. Gejalanya yang menonjol meliputi sesak nafas, batuk, rasa tak nyaman di dada. Pertolongan terdiri dari mengistirahatkan penderita dalam posisi tegak (mengurangi udeme paru), memberi O2, frusemide (Lasix - diuretika) dan bila mungkin segera evakuasi.
3.      Udema Cerebral Pada Ketinggian Tinggi
Hal ini jarang, tetapi merupakan ancaman maut yang terjadi pada ketinggian lebih dari 4000 m. Gejalanya meliputi sakit kepala yang hebat, disorientasi, halusinasi dan coma, dan pertolongan memerlukan terapi O2, kortikosteroid intravena dan segera evakuasi ke dataran rendah.
4.      Perdarahan Retina Pada Ketinggian
Pada ketinggian di atas 3500 m perdarahan-perdarahan kecil dapat terjadi di retina. Biasanya asymptomatik kecuali bila terjadi di daerah macula lutea maka akan terjadi gangguan penglihatan. Perkiraan bahwa pendaki-pendaki gunung yang terlatih akan mendapat risiko yang lebih sedikit terhadap masalah-masalah ketinggian ternyata tidaklah benar. Bahkan pendaki-pendaki besar seperti Sir Edmund Hillary (orang pertama yang mencapai puncak Gunung Everest) juga menderita beberapa kegawatan medis oleh ketinggian, yang mengancam maut.
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
1.        Adaptasi manusia merupakan penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan manusia untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya.
2.        Mekanisme adaptasi manusia dilakukan untuk menghadapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis, sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya. Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi dan adaptasi budaya.
3.        Perbedaan dalam ketinggian mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya hipoksia, barometer rendah, radiasi matahari tinggi, suhu udara dingin, kelembaban udara rendah, angin kencang, nutrisi terbatas, dan medan yang terjal. Secara fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia yang mempunyai efek pada fungsi paru-paru, fungsi sirkulasi pada jantung, darah, sirkulasi retinal, sensitivitas cahaya, memori dan pembelajaran, pendengaran, fungsi motorik, perasa dan pengecap, anoreksia dan kehilangan berat badan, aktivitas ginjal, fungsi tiroid, sekresi testosteron, dan fungsi seksual.
4.      Mekanisme adaptasi manusia terhadap ketinggian terdiri atas adaptasi biologi dan budaya. Adaptasi biologi manusia dari ketinggian terjadi secara fisiologis, genetis, dan biokimia. Mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi ventilasi paru-paru, volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner, transport oksigen dalam darah, difusi oksigen dari darah ke jaringan, dan penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
18
 
5.      Mengetahui patofisiologi ketinggian adalah penyakit fisiologis yang disebabkan oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti mountain sickness akut,  edema pulmoner, perdarahan retina pada ketinggian, dan udema cerebral pada ketinggian tinggi
19
 
 

3.2  Saran
Karya tulis belum sempurna, saya berharap suatu saat nanti aka nada yang menyempurnakan karya tulis ini. Karya tulis ini juga berdasarkan pada data pustaka yang ada bukan melalui penelitian. Di Indonesia sendiri masih jarang orang yang mau meneliti kasus ini. Saya berharap karya tulis ini bisa berguna bagi pembaca dan dapat dilanjutkan khususnya untuk diterapkan di Indonesia yang merupakan pusat pertemuan barisan gunung dan pertemuan lempeng sehingga potensial sekali terhadap adaptasi pada ketinggian.




DAFTAR PUSTAKA

Cavalleri, Dr. Gianpiero. 2012. “Irish scientists uncover genetic secrets of human adaptation to high altitude”. < http://www.rcsi.ie/index.jsp?p=110&n=903&a=1632 >. Biomedical Research Lecturer, RCSI.

Denis.2011. “Adapting to High Atitude”. 

Denny Z, Levett & for the Caudwell Extreme Everest Research Group. Jurnal published 2010. “The role of nitrogen oxides in human adaptation to hypoxia”. < http://www.nature.com/srep/2011/111006/srep00109/full/srep00109.html>.

J. L. Rupert and P. W. Hochachka. 2001. “Genetic approaches to understanding human adaptation to altitude in the Andes”. Department of Pathology and Laboratory Medicine and 2Department of Zoology, The University of British. Columbia, Vancouver, Canada V6T 2B5.

Laura B Scheinfeldt, Sameer Soi, Simon Thompson, Alessia Ranciaro, Dawit Woldemeskel, William Beggs, Charla Lambert, Joseph P Jarvis, Dawit Abate, Gurja Belay and Sarah A Tishkoff. Jurnal Published 20 Januari 2012. “Genetic adaptation to high altitude in the Ethiopian highlands”.< http://genomebiology.com/2012/13/1/R1 >. licensee BioMed Central Ltd.

Moore, Lorna G. 2000.“ Respiration Physiology”. Department of Anthropology. University of Colorado at Denver, Denver, CO, USA.
_______________.2010. ”Rapid Human adaptation ti the high attitudes”. < http://massgenomics.org/2010/08/rapid-human-adaptation-to-high-altitudes.html>