Jumat, 03 April 2015

Peran petugas kesehatan dalam upaya menekan penularan kusta di Kabupaten Sampang

Peran petugas kesehatan dalam upaya menekan penularan kusta di Kabupaten Sampang
 (studi antropologis tentang penderita kusta)

Siti Farha
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Airlangga, Surabaya


ABSTRACT

The density of the population in Sampang 744 people / km. Adjustment of WHO about leprosy is one people suspect leprosy in every 10.000 population. Sampang district health center based on the data in 2013, four lepers in every 10.000 population. This comparison is not in accordance with the adjustment recommended by WHO.The health workers other than leprosy officer also has stigma of leprosy in leprosy patients. Leprosy has labeled as hereditary diseases, execrates, and easily transmitted. In line with the attachment of the label, stigma attributed to leprosy patients. Officers of leprosy has not been thoroughly transfer they knowledge to other health workers. On this research used qualitative methods. My focus research is the role of health workers in an effort to suppress the transmission of leprosy in Sampang. Health care workers did not give good service to leprosy patient. They can’t cover leprosy patient care. This is the prime reason why the number of leprosy patient is higher in Sampang.


Keywords: Lepers, stigma, leprosy officer

PENDAHULUAN
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa menahun yang disebabkan oleh organisme intraseluler obligat mycobacterium leprae (Kementerian kesehatan RI, 2012). Mycobacterium leprae ditemukan pertama kali oleh Henrik Armauer Hansen pada 28 Februari 1873 (Amiruddin, 2012) melalui penelitiannya. Bakteri ini tidak hanya menyerang kulit tetapi juga saraf dan membran mukosa. Penyakit ini tergolong penyakit menular.
Kusta tipe PB lebih di kenal dengan kusta kering sedangkan kusta tipe MB dikenal sebagai kusta basah. PB (pausi basiler) ditandai dengan adanya bercak (macula) berwarna putih yang memiliki diameter sebesar uang logam atau lebih besar. macula akan muncul dalam jumlah yang lebih dari satu pada badan penderita. Tempat munculnya seperti pada bagian pipi, bahu, punggung, lengan, ketiak, dada, pinggang, pantat, paha, betis dan punggung kaki.
Kusta basah memiliki karakteristik bercak kemerahan dengan diameter yang sama dengan bercak pada tipe kering dan tersebar merata pada seluruh badan. Tanda lain adalah munculnya nodul sebesar biji jagung pada beberapa bagian. Penebalan bagian kemerahan (infiltrate) berbentuk seperti pulau dan muncul pertama kali pada bagian cuping telinga.
Jawa Timur merupakan propinsi dengan angka penderita kusta tertinggi di Indonesia (Departemen Kesehatan, 2012). Beberapa tahun terakhir, kabupaten yang berada di pulau Madura merupakan daerah dengan angka penderita kusta melebihi standart yang ditetapkan WHO.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Sampang yakni 744 jiwa/km. peraturan WHO paling banyak terdapat satu orang penderita kusta pada setiap 10.000 penduduk. Kabupaten Sampang berdasarkan data Puskesmas tahun 2013 terdapat empat penderita kusta pada setiap 10.000 penduduk. Perbandingan ini tidak sesuai dengan peraturan yang disarankan oleh WHO.
Petugas kesehatan merupakan ujung tombak upaya pelayanan kesehatan. Mereka yang seharusnya mempunyai andil besar dalam peningkatan kualitas kesehatan. Tingginya angka penderita kusta menunjukan rendahnya peranan petugas kesehatan dalam upaya menekan angka penderita kusta di Kabupaten Sampang. Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang telah menyediakan MDT gratis kepada setiap penderita kusta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan petugas kesehatan dalam upaya menekan angka penderita kusta yang sebenarnya telah dilakukan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan antropologi kesehatan berdasarkan hukum normatif. Hukum normatif adalah hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun yang telah di implementasikan dalam peraturan Dinas Kesehatan. Konsep antropologi kesehatan yang dijelaskan oleh foster menyatakan pengertian mengenai konsep sakit, asal penyakit dan cara mencari kesembuhan. penelitian ini menjelaskan peranan petugas kesehatan dalam upaya menekan penularan kusta dengan bantuan pendekatan yang telah dijelaskan diatas.


METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yakni menggambarkan secara sistematis dan menyeluruh mengenai peranan petugas kesehatan dalam upaya menekan penularan kusta di Kabupaten Sampang.
Pada penelitian ini penulis menggunakan dua cara pengumpulan data yakni Penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan. Kriteria utama informan adalah aktif bertugas di Puskesmas setempat, berasal dari beberapa Puskesmas, bersedia meluangkan waktu untuk wawancara (indepth interview) dan bersedia diobservasi ketika melayani pasien tidak hanya di Puskesmas tetapi juga pada saat kunjungan.
Informan merupakan petugas kesehatan yang terkait dengan pelayanan penderita kusta. Petugas kesehatan yang terkait dengan pelayanan penderita kusta adalah petugas P2 kusta dan perawat yang sesuai dengan kriteria informan yang telah ditetapkan.

PEMBAHASAN
Petugas kesehatan di Puskesmas terdiri dari perawat, dokter, analis kesehatan, apoteker, dst. Sebagian besar petugas kesehatan yang bertugas di Puskesmas tersebut merupakan warga asli Pulau Madura. Namun, petugas P2 kusta yang ada di Puskesmas merupakan hasil dari pelatihan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Sebagaian besar dari mereka bukanlah warga asli area kerja Puskesmas.
Petugas P2 kusta merupakan orang yang berasal dari luar masyarakat, sehingga mereka tidak banyak mengetahui mengenai kebudayaan masyarakat. Petugas P2 kusta juga merupakan ners yang terlatih khusus untuk menangani kusta. Tugas utama petugas ini adalah penanganan kusta. Mereka juga memiliki definisi tersendiri mengenai kusta karena pengetahuan mereka tentang kusta tidak sama dengan masyarakat di daerah tersebut. Namun, secara kebudayaan petugas P2 kusta belum mengusai kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Petugas kesehatan lainnya masih terpapar pengertian kusta yang ada dalam masyarakat setempat.
Berdasarkan pengertian masyarakat tanda-tanda awal penyakit kusta tidak masuk dalam katagori sakit berdasarkan persepsi mereka. Masyarakat menganggap tanda-tanda dini kusta merupakan keistimewaan dari Tuhan yang diberikan kepada mereka berupa kekebalan fisik.
Rendahnya pengetahuan tentang tanda-tanda dini kusta yang menyebabkan terlambatnya penanganan pada penderita kusta. Penderita kusta baru mendapatkan penanganan petugas kesehatan ketika cacat tingkat 2. Pada tingkatan ini sulit untuk penderita kembali normal seperti sediakala. Sebagai akibat dari keterlambatan penanganan kusta tidak hanya kecacatan fisik. Stigma tidak akan terlepas dari diri penderita kusta. Stigma didapatkan karena individu tersebut tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya secara penuh.

Pelayanan Puskesmas pada penderita kusta
Keputusan menteri kesehatan nomor 128/Menkes/SK/2004 menjelaskan bahwa Dinas Kesehatan sebagai induk dari Puskesmas berfungsi sebagai regulator pemegang peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan Puskesmas selaku UPT Dinas Kesehatan (Praptianingsih, 2006). Tugas utama puskesmas dalam pelayanan kusta terintegrasi adalah pengelolaan MDT, promosi kesehatan terkait kusta serta monitoring dan evaluasi.
Puskesmas memiliki 2 cara penemuan penderita kusta (Departemen esehatan RI, 2012) yakni penemuan pasif dan penemuan aktif. Penemuan pasif yakni pasien datang dengan sendirinya ke Puskesmas. Penemuan aktif yakni penemuan penderita secara langsug melalui program yang diselenggarakan Puskesmas.
Penderita kusta juga memilih mendatangi kyai terlebih dahulu untuk upaya penyembuhan kusta. Walaupun setiap datang kepada kyai harus acabis (tradisi salam tempel). Jumlah uang yang dimasukkan dalam amplop tersebut biasanya berkisar 50.000 rupiah atau lebih. Masyarakat lebih percaya pada tokoh agama ataupun tokoh masyarakat setempat.
Pengobatan MDT yang dilakukan oleh kyai ini lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan yang dilakukan Puskesmas. Walaupun pengobatan MDT yang dilakukan Puskesmas telah mengikuti prosedur yang disarankan oleh WHO.
Masyarakat menilai petugas P2 kusta sebagai orang lain. Mereka tidak mudah percaya pada orang lain. Sedangkan kyai adalah orang yang disegani oleh masyarakat, sehingga lebih di percaya. Perkataan dan tindakan beliau memiliki pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat.
Pada penemuan pasif yang juga dilakukan oleh kyai. Penderita diberikan obat dan diminta kembali lagi setelah obat habis. Sebenarnya cara ini sama dengan yang dilakukan oleh Puskesmas. Namun, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kyai dan petugas P2 kusta berbeda. Kyai lebih dijadikan panutan dibandingkan petugas kusta. Oleh sebab itu, walaupun dengan cara yang sama, tingkat keberhasilan pengobatan kusta mereka berbeda.

Pelayanan pada penderita kusta
Pelayanan kusta di Sampang masih mengandalkan peranan Wasor. Wasor merupakan satu-satunya pemegang peranan penting dalam upaya pemberantasan penyakit kusta. Oleh sebab itu posisi petugas kusta tidak tergantikan. Penanganan kusta di Sampang juga hanya mengandalkan satu orang sebagai petugas inti.
Petugas kesehatan di Puskesmas terdiri dari beberapa orang yang memiliki perbedaan latar belakang. Wasor merupakan salah satu petugas kesehatan yang fokus pada penanganan kusta dan ditempatkan pada setiap Puskesmas induk. Namun, faktanya wasor yang mengambil alih semua penanganan penderita kusta di Puskesmas dan masyarakat. Mulai dari diagnosis sampai dengan pengobatan, wasor merupakan satu-satunya orang yang menangani pasien kusta. Wasor sebagai orang-orang terlatih dalam penanganan kusta. mereka tidak memiliki stigma terhadap penyakit kusta.
Wasor dan petugas program P2 kusta seharusnya bersama-sama melakukan usaha dalam rangka mengurangi angka pasien kusta. Namun, di kabupaten Sampang, Wasor adalah ketua program P2 kusta di Puskesmas induk. Para petugas ini selain bertanggung jawab terhadap pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) dan mereka juga bertanggung jawab terhadap kepala Puskesmas. Selain menangani pemberantasan kusta petugas ini juga menangani program lain seperti perawatan jiwa, perawat UGD, program malaria, imunisasi, TB, dsb.
Menangani beberapa program terkait berbagai jenis penyakit dapat mengakibatkan petugas kurang fokus dalam hal penanganan penderita kusta. Masalah lain yang muncul dalam upaya pemberantasan penyakit kusta adalah tidak ada sinergisitas yang terjadi antar bidang-bidang terkait. Petugas kusta merupakan satu-satunya orang yang bertanggung jawab di sini, maka apapun yang berkaitan dengan kusta hanya ditangani oleh petugas kusta. Upaya pemberantasan kusta hanya bertumpu pada satu orang, akibatnya jika orang ini tidak ada maka penanganan kusta di wilayah Puskesmas tersebut tidak akan berjalan sebagaimana biasanya.

Stigma petugas kesehatan pada penderita kusta
Erving Goffman menyebutkan tipe orang yang dikenai stigma yaitu the discredited and discredible (Tantut, 2013). The discredited adalah orang yang nampak berbeda dengan tataran orang pada umumnya. Penderita kusta merupakan orang-orang yang berbeda. Penderita kusta sebagian besar ditemukan pada cacat tingkat dua. Cacat inilah yang menyebabkan mereka berbeda dengan manusia pada ideal pada umumnya.
Discredible adalah orang yang berbeda atau menyimpang dari norma ideal namun perbedaannya atau penyimpangannya belum diketahui orang lain. Jika telah diketahui orang tersebut akan ditolak dari pergaulan. Penderita kusta pada cacat tingkat 0-1 sukar untuk diketahui. Pada cacat tingkat dua mereka akan memerikasan diri mereka. Namun, mereka tidak mau diketahui orang lain.
Steriotip adalah gagasan tentang stigma (Tantut, 2013). Steriotip tidak selalu berkonotasi negatif berbeda dengan stigma. Stigma pada jaman dahulu merujuk pada tanda atau potongan atau pembakaran tubuh yang mengidentifikasi status seseorang yang didiskreditkan. Pada penderita kusta kecacatan yang dideritanya adalah tanda yang didiskreditkan oleh setiap orang.
Steriotip terhadap penderita kusta bukan hanya dilakukan oleh masyarakat biasa tapi juga dilakukan oleh para petugas kesehatan. Kecacatan tersebut akan menjadi label yang menyatakan bahwa dia adalah penderita kusta. Transfer pengetahuan dari petugas P2 kusta juga tidak banyak mengubah persepsi petugas kesehatan lainnya.
Petugas P2 kusta tidak banyak memiliki interaksi dengan bidan yang ada di desa. Petugas P2 kusta di Kabupaten Sampang rata-rata masih bertugas ±2 tahun. Penugasan mereka terhitung sejak tahun 2012. Sebagian dari petugas tersebut juga bukan merupakan orang asli area wilayah kerja Puskesmas. Perbedaan budaya menghambat tugas mereka. Namun, sebagian besar dari mereka menikah dengan bidan yang ada di daerah tersebut. Para isteri mereka juga berperan dalam diseminasi informasi mengenai kusta kepada rekan sejawatnya. 
Para petugas kesehatan tersebut sebenarnya tidak banyak mengambil bagian dalam upaya penanggulangan kusta di daerahnya. Diseminasi kusta pada petugas kesehatan masih belum optimal.
Petugas kesehatan menganggap bahwa selama masih ada petugas P2 kusta, petugas lainnya tidak memiliki tanggung jawab untuk merawat penderita kusta. Sehingga petugas kesehatan tersebut tidak banyak mengambil peran dalam upaya pemberantasan kusta. Hubungan petugas P2 kusta dengan petugas kesehatan lainnya hanya sebatas rekan kerja. Hubungan mereka hanya terbatas pada hubungan secara struktural. Keterbatasan waktu dan banyaknya penderita kusta membuat petugas kusta lebih sering berada di luar Puskesmas untuk melakukan perawatan pada penderita kusta. Dampaknya tidak banyak waktu yang ada untuk melakukan sosialisasi pada rekan kerjanya.
Petugas P2 kusta yang ada di Puskesmas memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pasien kusta dengan pengobatan lanjutan. Setiap ada penderita kusta baru setelah penemuan akan dilakukan kunjungan ke rumahnya. Sebenarnya ini merupakan cara mereka melakukan sosialisasi mengenai penyakit kusta. selain itu, petugas juga menyakan kemungkinan ada anggota keluarga lainnya yang memiliki tanda-tanda terkena penyakit kusta. Sebenarnya cara ini sangat efektif karena tidak mungkin melakukan sosialisasi dengan cara mengumpulkan warga di Puskesmas. Sebagian warga Kabupaten Sampang bekerja pada siang hari, sedangkan jam operasional Puskesmas 08.00-12.00 WIB.
Sebagian penderita kusta tidak mau dilakukan kunjungan kerumahnya. Berikut ini pernyataan informan mengenai kunjungan pada pasien kusta.
Penderita kusta tidak mau dikunjungi karena ada ketakutan orang lain termasuk keluarganya akan mengetahui jika dia adalah penderita kusta. Inilah yang menjadi dasar terbentuknya self-stigma bagi penderita kusta.
Peranan petugas kesehatan dalam menanggulangi penyakit kusta belum maksimal. Sebagian dari penderita kusta masih banyak yang memiliki self-stigma. Selain itu, penanganan kusta di Puskesmas Kabupaten Sampang hanya bertumpu pada petugas P2 kusta. Petugas kesehatan lainnya tidak mengambil bagian dalam upaya penanganan penderita kusta. Petugas kesehatan tersebut masih memiliki stigma kepada penderita kusta karena kurangnya pengetahuan terhadap penyakit kusta.

Angka penderita kusta
Tingginya angka penderita kusta di Kabupaten Sampang dipengaruhi oleh pelayanan petugas kesehatan terhadap penderita kusta. Pelayanan petugas kesehatan Puskesmas terhadap penderita kusta tidak maksimal mengakibatkan penyebaran penyakit kusta semakin luas. Penemuan penderita baru yang terlambat, pengobatan MDT yang tidak tuntas dan pelayanan kusta yang hanya bertumpu pada satu orang semuanya merupakan penyebab tingginya angka penderita kusta di Kabupaten Sampang.

KESIMPULAN
Para petugas kesehatan selain petugas P2 kusta juga memiliki stigma pada penderita kusta. Kusta memiliki label sebagai penyakit keturunan, mejijikkan, dan mudah menular. Sejalan dengan melekatnya label tersebut, stigma disandangkan kepada penderita kusta. Diskriminasi yang terjadi pada penderita kusta yakni tidak semua petugas kesehatan turut serta dalam perawatan penderita kusta.
Stigma yang ada pada petugas kesehatan tersebut diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai penyakit kusta. Petugas P2 kusta belum melakukan sosialisasi secara menyeluruh pada petugas kesehatan lainnya. Dampaknya pada pelayanan kesehatan yakni petugas kesehatan beranggapan bahwa petugas P2 kusta merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap penderita kusta.




SARAN
Petugas kusta harus berkomunikasi dengan petugas kusta lainnya terutama yang berada di sekitar wilayah jangkauan Puskesmas. Komunikasi ini bertujuan untuk memetakan wilayah endemis kusta. Setiap UPK harus sanggup melakukan pelayanan pada penderita kusta secara terintegrasi. Sehingga pelayanan pada penderita tidak hanya mengandalkan satu orang. Wasor seharusnya dapat melakukan diseminasi informasi mengenai penyakit kusta.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2012. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Kementerian kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2012. Profil kesehatan Jawa Timur tahun 2012. Surabaya: Dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Foster, George. M., & Barbara Gallatin Anderson (eds). 2005. Antropologi kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Praptianingsih, Sri.      2006. Kedudukan hukum perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Susanto, Tantut., et al. 2013. Perawatan klien kusta di Komunitas. Jakarta: Trans Info Media.
Sutanto, Tantut. 2010. Studi fenomenologi: Pengalaman klien dewasa menjalani perawatan kusta di wilayah kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember Jawa Timur. Tesis. Fakustas ilmu keperawatan Program pasca sarjana ilmu keperawatan. Universitas Indonesia.