“Peran petugas kesehatan dalam upaya menekan
penularan kusta di Kabupaten Sampang”
(studi
antropologis tentang penderita kusta)
Siti Farha
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik,
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
The density of the population in Sampang 744 people / km. Adjustment of
WHO about leprosy is one people suspect leprosy in every 10.000 population.
Sampang district health center based on the data in 2013, four lepers in every
10.000 population. This comparison is not in accordance with the adjustment
recommended by WHO.The health workers other than leprosy officer also has
stigma of leprosy in leprosy patients. Leprosy has labeled as hereditary
diseases, execrates, and easily transmitted. In line with the attachment of the
label, stigma attributed to leprosy patients. Officers of leprosy has not been
thoroughly transfer they knowledge to other health workers. On this research
used qualitative methods. My focus research is the role of health workers in an
effort to suppress the transmission of leprosy in Sampang. Health care workers did
not give good service to leprosy patient. They can’t cover leprosy patient
care. This is the prime reason why the number of leprosy patient is higher in
Sampang.
Keywords: Lepers, stigma,
leprosy officer
PENDAHULUAN
Penyakit kusta
adalah penyakit infeksi granulomatosa
menahun yang disebabkan oleh organisme intraseluler obligat mycobacterium leprae (Kementerian
kesehatan RI, 2012). Mycobacterium leprae
ditemukan pertama kali oleh Henrik Armauer Hansen pada 28 Februari 1873
(Amiruddin, 2012) melalui penelitiannya. Bakteri ini tidak hanya menyerang
kulit tetapi juga saraf dan membran mukosa. Penyakit ini tergolong penyakit
menular.
Kusta tipe PB
lebih di kenal dengan kusta kering sedangkan kusta tipe MB dikenal sebagai
kusta basah. PB (pausi basiler)
ditandai dengan adanya bercak (macula)
berwarna putih yang memiliki diameter sebesar uang logam atau lebih besar. macula akan muncul dalam jumlah yang
lebih dari satu pada badan penderita. Tempat munculnya seperti pada bagian
pipi, bahu, punggung, lengan, ketiak, dada, pinggang, pantat, paha, betis dan
punggung kaki.
Kusta basah
memiliki karakteristik bercak kemerahan dengan diameter yang sama dengan bercak
pada tipe kering dan tersebar merata pada seluruh badan. Tanda lain adalah
munculnya nodul sebesar biji jagung
pada beberapa bagian. Penebalan bagian kemerahan (infiltrate) berbentuk seperti pulau dan muncul pertama kali pada
bagian cuping telinga.
Jawa Timur merupakan propinsi dengan angka penderita kusta tertinggi di
Indonesia (Departemen Kesehatan, 2012). Beberapa tahun terakhir, kabupaten yang
berada di pulau Madura merupakan daerah dengan angka penderita kusta melebihi
standart yang ditetapkan WHO.
Kepadatan penduduk
di Kabupaten Sampang yakni 744 jiwa/km. peraturan WHO paling banyak terdapat
satu orang penderita kusta pada setiap 10.000 penduduk. Kabupaten Sampang
berdasarkan data Puskesmas tahun 2013 terdapat empat penderita kusta pada
setiap 10.000 penduduk. Perbandingan ini tidak sesuai dengan peraturan yang
disarankan oleh WHO.
Petugas
kesehatan merupakan ujung tombak upaya pelayanan kesehatan. Mereka yang
seharusnya mempunyai andil besar dalam peningkatan kualitas kesehatan. Tingginya
angka penderita kusta menunjukan rendahnya peranan petugas kesehatan dalam
upaya menekan angka penderita kusta di Kabupaten Sampang. Dinas Kesehatan
Kabupaten Sampang telah menyediakan MDT gratis kepada setiap penderita kusta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan petugas kesehatan dalam
upaya menekan angka penderita kusta yang sebenarnya telah dilakukan.
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan antropologi kesehatan
berdasarkan hukum normatif. Hukum normatif adalah hukum yang ada dalam
peraturan perundang-undangan ataupun yang telah di implementasikan dalam
peraturan Dinas Kesehatan. Konsep antropologi kesehatan yang dijelaskan oleh
foster menyatakan pengertian mengenai konsep sakit, asal penyakit dan cara
mencari kesembuhan. penelitian ini menjelaskan peranan petugas kesehatan dalam
upaya menekan penularan kusta dengan bantuan pendekatan yang telah dijelaskan
diatas.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian
ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Penelitian yang dilakukan bersifat
deskriptif analitis yakni menggambarkan secara sistematis dan menyeluruh
mengenai peranan petugas kesehatan dalam upaya menekan penularan kusta di
Kabupaten Sampang.
Pada penelitian
ini penulis menggunakan dua cara pengumpulan data yakni Penelitian kepustakaan
(library research) dan penelitian
lapangan. Kriteria utama informan adalah aktif bertugas di Puskesmas setempat,
berasal dari beberapa Puskesmas, bersedia meluangkan waktu untuk wawancara (indepth interview) dan bersedia
diobservasi ketika melayani pasien tidak hanya di Puskesmas tetapi juga pada
saat kunjungan.
Informan
merupakan petugas kesehatan yang terkait dengan pelayanan penderita kusta.
Petugas kesehatan yang terkait dengan pelayanan penderita kusta adalah petugas
P2 kusta dan perawat yang sesuai dengan kriteria informan yang telah
ditetapkan.
PEMBAHASAN
Petugas kesehatan di Puskesmas terdiri dari perawat, dokter, analis
kesehatan, apoteker, dst. Sebagian besar petugas kesehatan yang bertugas di
Puskesmas tersebut merupakan warga asli Pulau Madura. Namun, petugas P2 kusta
yang ada di Puskesmas merupakan hasil dari pelatihan dari Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur. Sebagaian besar dari mereka bukanlah warga asli area kerja
Puskesmas.
Petugas P2 kusta merupakan orang yang berasal dari luar masyarakat,
sehingga mereka tidak banyak mengetahui mengenai kebudayaan masyarakat. Petugas
P2 kusta juga merupakan ners yang
terlatih khusus untuk menangani kusta. Tugas utama petugas ini adalah
penanganan kusta. Mereka juga memiliki definisi tersendiri mengenai kusta karena
pengetahuan mereka tentang kusta tidak sama dengan masyarakat di daerah
tersebut. Namun, secara kebudayaan petugas P2 kusta belum mengusai kebudayaan
yang ada dalam masyarakat. Petugas kesehatan lainnya masih terpapar pengertian
kusta yang ada dalam masyarakat setempat.
Berdasarkan pengertian masyarakat tanda-tanda awal penyakit kusta tidak
masuk dalam katagori sakit berdasarkan persepsi mereka. Masyarakat menganggap
tanda-tanda dini kusta merupakan keistimewaan dari Tuhan yang diberikan kepada
mereka berupa kekebalan fisik.
Rendahnya pengetahuan
tentang tanda-tanda dini kusta yang menyebabkan terlambatnya penanganan pada
penderita kusta. Penderita kusta baru mendapatkan penanganan petugas kesehatan
ketika cacat tingkat 2. Pada tingkatan ini sulit untuk penderita kembali normal
seperti sediakala. Sebagai akibat dari keterlambatan penanganan kusta tidak
hanya kecacatan fisik. Stigma tidak
akan terlepas dari diri penderita kusta. Stigma didapatkan karena individu tersebut tidak dapat menjalankan fungsi
sosialnya secara penuh.
Pelayanan Puskesmas pada penderita kusta
Keputusan
menteri kesehatan nomor 128/Menkes/SK/2004 menjelaskan bahwa Dinas Kesehatan
sebagai induk dari Puskesmas berfungsi sebagai regulator pemegang peranan
penting dalam menentukan dan mengarahkan Puskesmas selaku UPT Dinas Kesehatan
(Praptianingsih, 2006). Tugas utama puskesmas dalam pelayanan kusta
terintegrasi adalah pengelolaan MDT, promosi kesehatan terkait kusta serta
monitoring dan evaluasi.
Puskesmas memiliki 2 cara penemuan penderita kusta (Departemen esehatan
RI, 2012) yakni penemuan pasif dan penemuan aktif. Penemuan pasif yakni pasien
datang dengan sendirinya ke Puskesmas. Penemuan aktif yakni penemuan penderita
secara langsug melalui program yang diselenggarakan Puskesmas.
Penderita kusta juga memilih mendatangi kyai terlebih dahulu untuk upaya
penyembuhan kusta. Walaupun setiap datang kepada kyai harus acabis (tradisi salam tempel). Jumlah
uang yang dimasukkan dalam amplop tersebut biasanya berkisar 50.000 rupiah atau
lebih. Masyarakat lebih percaya pada tokoh agama ataupun tokoh masyarakat
setempat.
Pengobatan MDT
yang dilakukan oleh kyai ini lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan yang
dilakukan Puskesmas. Walaupun pengobatan MDT yang dilakukan Puskesmas telah
mengikuti prosedur yang disarankan oleh WHO.
Masyarakat
menilai petugas P2 kusta sebagai orang lain. Mereka tidak mudah percaya pada
orang lain. Sedangkan kyai adalah orang yang disegani oleh masyarakat, sehingga
lebih di percaya. Perkataan dan tindakan beliau memiliki pengaruh yang lebih
besar dalam masyarakat.
Pada penemuan
pasif yang juga dilakukan oleh kyai. Penderita diberikan obat dan diminta
kembali lagi setelah obat habis. Sebenarnya cara ini sama dengan yang dilakukan
oleh Puskesmas. Namun, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kyai dan petugas
P2 kusta berbeda. Kyai lebih dijadikan panutan dibandingkan petugas kusta. Oleh
sebab itu, walaupun dengan cara yang sama, tingkat keberhasilan pengobatan
kusta mereka berbeda.
Pelayanan pada penderita kusta
Pelayanan kusta
di Sampang masih mengandalkan peranan Wasor. Wasor merupakan satu-satunya
pemegang peranan penting dalam upaya pemberantasan penyakit kusta. Oleh sebab
itu posisi petugas kusta tidak tergantikan. Penanganan kusta di Sampang juga
hanya mengandalkan satu orang sebagai petugas inti.
Petugas
kesehatan di Puskesmas terdiri dari beberapa orang yang memiliki perbedaan
latar belakang. Wasor merupakan salah satu petugas kesehatan yang fokus pada
penanganan kusta dan ditempatkan pada setiap Puskesmas induk. Namun, faktanya
wasor yang mengambil alih semua penanganan penderita kusta di Puskesmas dan
masyarakat. Mulai dari diagnosis sampai dengan pengobatan, wasor merupakan
satu-satunya orang yang menangani pasien kusta. Wasor sebagai orang-orang
terlatih dalam penanganan kusta. mereka tidak memiliki stigma terhadap penyakit
kusta.
Wasor
dan petugas program P2 kusta seharusnya bersama-sama melakukan usaha dalam
rangka mengurangi angka pasien kusta. Namun, di kabupaten Sampang, Wasor adalah
ketua program P2 kusta di Puskesmas induk. Para petugas ini selain bertanggung
jawab terhadap pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) dan mereka juga bertanggung
jawab terhadap kepala Puskesmas. Selain menangani pemberantasan kusta petugas
ini juga menangani program lain seperti perawatan jiwa, perawat UGD, program
malaria, imunisasi, TB, dsb.
Menangani
beberapa program terkait berbagai jenis penyakit dapat mengakibatkan petugas
kurang fokus dalam hal penanganan penderita kusta. Masalah lain yang muncul
dalam upaya pemberantasan penyakit kusta adalah tidak ada sinergisitas yang
terjadi antar bidang-bidang terkait. Petugas kusta merupakan satu-satunya orang
yang bertanggung jawab di sini, maka apapun yang berkaitan dengan kusta hanya
ditangani oleh petugas kusta. Upaya pemberantasan kusta hanya bertumpu pada
satu orang, akibatnya jika orang ini tidak ada maka penanganan kusta di wilayah
Puskesmas tersebut tidak akan berjalan sebagaimana biasanya.
Stigma petugas kesehatan pada penderita kusta
Erving Goffman
menyebutkan tipe orang yang dikenai stigma yaitu the discredited and discredible (Tantut, 2013). The discredited adalah orang yang nampak
berbeda dengan tataran orang pada umumnya. Penderita kusta merupakan
orang-orang yang berbeda. Penderita kusta sebagian besar ditemukan pada cacat
tingkat dua. Cacat inilah yang menyebabkan mereka berbeda dengan manusia pada
ideal pada umumnya.
Discredible adalah orang yang berbeda atau menyimpang dari norma
ideal namun perbedaannya atau penyimpangannya belum diketahui orang lain. Jika
telah diketahui orang tersebut akan ditolak dari pergaulan. Penderita kusta
pada cacat tingkat 0-1 sukar untuk diketahui. Pada cacat tingkat dua mereka
akan memerikasan diri mereka. Namun, mereka tidak mau diketahui orang lain.
Steriotip adalah
gagasan tentang stigma (Tantut, 2013). Steriotip tidak selalu berkonotasi
negatif berbeda dengan stigma. Stigma pada jaman dahulu merujuk pada tanda atau
potongan atau pembakaran tubuh yang mengidentifikasi status seseorang yang
didiskreditkan. Pada penderita kusta kecacatan yang dideritanya adalah tanda
yang didiskreditkan oleh setiap orang.
Steriotip
terhadap penderita kusta bukan hanya dilakukan oleh masyarakat biasa tapi juga
dilakukan oleh para petugas kesehatan. Kecacatan tersebut akan menjadi label yang menyatakan bahwa dia adalah
penderita kusta. Transfer pengetahuan dari petugas P2 kusta juga tidak banyak
mengubah persepsi petugas kesehatan lainnya.
Petugas P2 kusta
tidak banyak memiliki interaksi dengan bidan yang ada di desa. Petugas P2 kusta
di Kabupaten Sampang rata-rata masih bertugas ±2 tahun. Penugasan mereka
terhitung sejak tahun 2012. Sebagian dari petugas tersebut juga bukan merupakan
orang asli area wilayah kerja Puskesmas. Perbedaan budaya menghambat tugas
mereka. Namun, sebagian besar dari mereka menikah dengan bidan yang ada di
daerah tersebut. Para isteri mereka juga berperan dalam diseminasi informasi
mengenai kusta kepada rekan sejawatnya.
Para petugas
kesehatan tersebut sebenarnya tidak banyak mengambil bagian dalam upaya
penanggulangan kusta di daerahnya. Diseminasi kusta pada petugas kesehatan
masih belum optimal.
Petugas
kesehatan menganggap bahwa selama masih ada petugas P2 kusta, petugas lainnya
tidak memiliki tanggung jawab untuk merawat penderita kusta. Sehingga petugas
kesehatan tersebut tidak banyak mengambil peran dalam upaya pemberantasan
kusta. Hubungan petugas P2 kusta dengan petugas kesehatan lainnya hanya sebatas
rekan kerja. Hubungan mereka hanya terbatas pada hubungan secara struktural.
Keterbatasan waktu dan banyaknya penderita kusta membuat petugas kusta lebih
sering berada di luar Puskesmas untuk melakukan perawatan pada penderita kusta.
Dampaknya tidak banyak waktu yang ada untuk melakukan sosialisasi pada rekan
kerjanya.
Petugas P2 kusta yang ada di Puskesmas memiliki
hubungan yang sangat dekat dengan pasien kusta dengan pengobatan lanjutan.
Setiap ada penderita kusta baru setelah penemuan akan dilakukan kunjungan ke
rumahnya. Sebenarnya ini merupakan cara mereka melakukan sosialisasi mengenai
penyakit kusta. selain itu, petugas juga menyakan kemungkinan ada anggota
keluarga lainnya yang memiliki tanda-tanda terkena penyakit kusta. Sebenarnya cara
ini sangat efektif karena tidak mungkin melakukan sosialisasi dengan cara
mengumpulkan warga di Puskesmas. Sebagian warga Kabupaten Sampang bekerja pada
siang hari, sedangkan jam operasional Puskesmas 08.00-12.00 WIB.
Sebagian penderita kusta tidak mau dilakukan kunjungan
kerumahnya. Berikut ini pernyataan informan mengenai kunjungan pada pasien
kusta.
Penderita
kusta tidak mau dikunjungi karena ada ketakutan orang lain termasuk keluarganya
akan mengetahui jika dia adalah penderita kusta. Inilah yang menjadi dasar
terbentuknya self-stigma bagi
penderita kusta.
Peranan petugas
kesehatan dalam menanggulangi penyakit kusta belum maksimal. Sebagian dari
penderita kusta masih banyak yang memiliki self-stigma.
Selain itu, penanganan kusta di Puskesmas Kabupaten Sampang hanya bertumpu pada
petugas P2 kusta. Petugas kesehatan lainnya tidak mengambil bagian dalam upaya
penanganan penderita kusta. Petugas kesehatan tersebut masih memiliki stigma
kepada penderita kusta karena kurangnya pengetahuan terhadap penyakit kusta.
Angka penderita kusta
Tingginya angka
penderita kusta di Kabupaten Sampang dipengaruhi oleh pelayanan petugas
kesehatan terhadap penderita kusta. Pelayanan petugas kesehatan Puskesmas
terhadap penderita kusta tidak maksimal mengakibatkan penyebaran penyakit kusta
semakin luas. Penemuan penderita baru yang terlambat, pengobatan MDT yang tidak
tuntas dan pelayanan kusta yang hanya bertumpu pada satu orang semuanya
merupakan penyebab tingginya angka penderita kusta di Kabupaten Sampang.
KESIMPULAN
Para
petugas kesehatan selain petugas P2 kusta juga memiliki stigma pada penderita
kusta. Kusta memiliki label sebagai
penyakit keturunan, mejijikkan, dan
mudah menular. Sejalan dengan melekatnya label
tersebut, stigma disandangkan kepada penderita kusta. Diskriminasi yang
terjadi pada penderita kusta yakni tidak semua petugas kesehatan turut serta
dalam perawatan penderita kusta.
Stigma yang ada pada petugas kesehatan
tersebut diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai penyakit kusta. Petugas
P2 kusta belum melakukan sosialisasi secara menyeluruh pada petugas kesehatan
lainnya. Dampaknya pada pelayanan kesehatan yakni petugas kesehatan beranggapan
bahwa petugas P2 kusta merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap
penderita kusta.
SARAN
Petugas kusta
harus berkomunikasi dengan petugas kusta lainnya terutama yang berada di
sekitar wilayah jangkauan Puskesmas. Komunikasi ini bertujuan untuk memetakan
wilayah endemis kusta. Setiap UPK harus sanggup melakukan pelayanan pada
penderita kusta secara terintegrasi. Sehingga pelayanan pada penderita tidak
hanya mengandalkan satu orang. Wasor seharusnya dapat melakukan diseminasi
informasi mengenai penyakit kusta.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2012. Pedoman nasional program pengendalian penyakit
kusta. Jakarta: Kementerian kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2012.
Profil kesehatan Jawa Timur tahun 2012.
Surabaya: Dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Foster, George. M., & Barbara Gallatin
Anderson (eds). 2005. Antropologi kesehatan.
Jakarta: UI-Press.
Praptianingsih, Sri. 2006. Kedudukan
hukum perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Jakarta: PT.
Raja Grafindo.
Susanto, Tantut., et al. 2013. Perawatan klien
kusta di Komunitas. Jakarta: Trans Info Media.
Sutanto, Tantut. 2010. Studi fenomenologi: Pengalaman klien dewasa
menjalani perawatan kusta di wilayah kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember
Jawa Timur. Tesis. Fakustas ilmu keperawatan Program pasca sarjana ilmu
keperawatan. Universitas Indonesia.