BAB
I
KENYATAAN
& ILUSI
Sekitar 30 persen dari
pekerja perempuan adalah pedagang jalanan, 30 persen lainnya dipekerjakan dalam
produksi tidak tetap atau domestic, 25 persen bekerja sebagai pembantu rumah
tangga, 15 persen bekerja di sector formal. Nilai-nilai materialis mereka
adalah indikasi kecenderungan umum perubahan sikap perempuan kelas bawah di
Jakarta. Kebanyakan penghuni jalan sempit(gang) adalah orang-orang pendatang
dari jawa.
Perempuan Jakarta dalam
hal ini adalah “ibu” memiliki dua pencitraan. Pencitraan ini biasanya
melambangkan perempuan dari kelas bawah. Citra pertama korban tidak berdosa
akibat kebodohannya sehingga menjadikan mereka sebagai korban kapitalis. Citra
ke-dua yakni perempuan merupakan seorang dewi gaib yang sesungguhnya tidak
mempunyai kekuasaan selain sebagai ibu rumah tangga dan istri. Dalam tradisi
jawa menjadi ibu rumah tangga merupakan hak istimewa bahwa seseorang bebas
tiggal dirumah.
Menurut Aderson bahwa
kekuasaan memiliki realitas eksistensial yang kongkrit, sehingga menghindari
persoalan legitimasi dan perwakilan. Pengetahuan adalah kunci kekuasaan.
Penciptaan peran gender dan komodifikasi ruang dan waktu dilihat Giddens
sebagai suatu strukturasi. Kehidupan sehari-hari di kampong adalah strategi
untuk bertahan hidup, yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan massa
ini sebagai kaum marginal yang jumlahnya melimpah ruah dengan budaya
kemiskinan. Mitos marginalitas mencakup satu mitos tentang pasivitas politik
dan konservatisme di kampong.
BAB
II
FANTASI
JAYA JAKARTA
Kota Jakarta berkembang
sesuai dengan arah kebijakan pemerintah dan implementasi dari idiologi-idiologi.
Batavia yang menjadi cikal-bakal kota megapolitan Jakarta dibangun oleh belanda
pada tahun 1619. Sedangkan provinsi DKI Jakarta secara resmi dibentuk secara
resmi tahun 1961. Pertumbuhan penduduk di kota Jakarta sangat pesat setelah era
1950an. Pada tahun 1950 penduduk Jakarta berjumlah ±2,9 juta jiwa pada tahun
1985 jumlah penduduk mencapai ±7,8 juta jiwa. Kenaikan penduduk ini sangat
signifikan. Sementara ibu kota mengalami ledakan penduduk, kontruksi
gedung-gedung tinggi mulai menjamuri ibukota. Kampong-kampung kota mulai
bermunculan dan berkembang pesat.
Namun, tidak ada
devinisi pasti tentang kampong perkotaan. Krausse mendefinisikan kampong
merupakan wilayah pemukiman dengan penghuni berstatus sosial rendah dengan tipe
rumah dibawah standart. Perkampungan paling tua di Jakarta terletak di bagian
barat laut kota yakni senen, jatinegara timur dan sekitar tanah abang. Kampong
sebagian besar dihuni oleh para pendatang. Mereka pada awalnya hidup secara
berkelompok sehingga banya terbentuk perkampungan berdasarkan etnis seperti
kampong jawa, kampong ambon dst. Namun, setelah kemerdekaan penduduk Jakarta
didominasi urban dari jawa.
Unsure budaya
masyarakat betawi yang masih dipertahankan adalah dialek (omong) Jakarta dan slang
jalanan (prokem). Perkampungan kota
awal masyarakatnya tergantung pada sector perkebunan. Seiring berkembangnya
industrilisasi maka perkebunan mulai ditutup dan didirikan pabrik-pabrik besar.
Faktanya pada zaman penjajahan belanda akhir masyarakat kelas bawa telah hidup
secara bersama-sama 3-5 orang dalam satu kamar. Kampong sama sekali bukan “desa
perkotaan” tetapi punya evolusi perkotaan dan karakteristik sendiri.
Di Jakarta sector
informal mulai berkembang pesat mulai pada abad ke-19. Ini terkait dengan
perkembangan kapitalis. Masyarakat yang bekerja pada sector informal sebagai
pedagang. Baik pedagang bahan makanan maupun makanan siap saji.
Sejak tahun 1961 DKI
Jakarta terbagi menjadi 5 kota, 20 kecamatan dan 236 kelurahan sebagai
pemerintahan terendah yang diakui Negara. Sedangkan secara sukarela masyarakat
membentuk RT dan RW secara sukarela sebagai organisasi kemasyarakatan yang
pertama kali di bentuk pada saat pemerintahan presiden Soekarno. Dengan tujuan
mempertemukan politik formal dengan informal. Tetapi faktanya RT dan RW hanya
sebagai tempat pengumpulan data/informasi kriminalitas yang dilakukan warganya.
BAB
III
KEBENARAN
DAN KEMATIAN DI MANGGARAI
Kelurahan Manggarai
terletak di kecamatan Tebet, Kota Jakarta Selatan. Kelurahan ini terdiri atas
12 RW. Masing-masing RW terdiri atas 10-15 RT yang keseluruhannya berjumlah 167
peda tahun 1977. Disekitar bantaran ciliwung berdiam orang-orang termiskin di
Jakarta. Jembatan manggarai merupakan perkumpulan komunitas perdagangan bamboo.
Disekitar jembatan terdapat sebuah perkumpulan pemungut dan pencari sampah.
Komunitas pemulung lain berada di sepanjang rel antara stasiun manggarai dan
bukit Duri. Pengrajin bamboo mendiami antara pasar dan pangkalan pusat
penjualan bamboo.
Manggarai pada tahun
1980 merupakan kawasan yang ke banyakan terdiri dari gang, bercirikan
spesialisasi intra local, mengelompok sekitar asal-usul dan kekerabatan.
Merekam mengutamaan sector informal dalam bidang padat karya. Pada tahun 1984 manggarai
terkenal sebagai daerah yang buruk karena para penjahat banyak dibuang ke
daerah itu. para penjahat ini kebanyakan merupakan warga luar kota Jakarta. Masyarakat
Manggarai sendiri berasal dari orang-orang manggarai dari flores barat. Mereka
sengaja didatangkan ke Jakarta untuk dijadikan budak setempat pada masa kolonial.
Peninggalan kolonial
yang tampak hingga saat ini di manggarai adalah stasiun kereta api dan tanah
disekitarnya. Perbaikan sarana utama di Jakarta berlangsung pada pemerintahan
Ali Sadikin sebagai program perbaikan kampong.
Pertalian keluarga dan
pertalian emosional dengan desa lebih kuat dari pada perasaan terhadap
Manggarai. Ini timbul karena rumah dan tanah di desa biasanya dimiliki sendiri
dan menjadi barang kebanggaan, sementara tempat tinggal di kota umumnya hanya
sewa dengan keadaan yang tidak layak. Terdapat korelasi antara kekayaan dan
status sosial dengan perbedaan jalan besar/gang. Umumnya warga yang tinggal di
gang sempit merupakan komunitas masyarakat kelas ekonomi kebawah. Mereka juga
mudah bergaul dan sering kumpul satu sama lain. Sedangkan masyarakat ekonomi
menengah maupun atas tinggal di jalan-jalan besar. Untuk berinteraksi antar
rumah mereka biasa menyuruh para pembantu.
Sejak dahulu Jakarta
telah memikirkan akan dampak over urbanisasi. Pemerintah pernah membangun flat
di kawasan tanah abang dan kebon kacang. Dengan ketentuan penghuni harus
memiliki anak dua atau kurang dan jika tidak dapat membayar uang sewa mana akan
ditranmigrasikan ke Kalimantan dan sumatera.
BAB
IV
PEREMPUAN
PEDAGANG JALANAN
Istilah “pedagang”
dimanggarai sama dengan ditempat-tempat lain yakni mencakup pedagang kecil,
pemilik warung, pedagang dipasar, dan pedagang keliling. Perempuan di Manggarai
terpusat pada pedagang pasar, pedagang jalanan dan pemilik warung. Sedangkan
untuk sopir dan pemilik jasa angkutan merupakan aktivitas eksklusif dari
laki-laki seperti sopir bajaj, taksi, minibus dan penarik becak. Jika laki-laki
berdagang biasanya mereka menggunakan pikulan atau gerobak dorong. Sedangkan
satu-satunya pedagang perempuan yang menggunakan pikulan adalah penjual jamu
gendong tradisional. Pedagang di Maggarai merupakan pendatang dari kawasan
pedesaan di Jawa. Mereka membawa tradisi yang berbeda-beda. Semua pedagang
memiliki kepribadian yang kuat dan mengembangan cara kerja sendiri-sendiri.
System perdagangan masyarakat Manggarai yang tergantung pada loyalitas pribadi
Kota-kota besar di
seluruh jawa mempunyai hampir 50% bekerja disektor informal, 75% berdagang, 60%
bekerja dirumah, dan 20% di RW mereka. pada tahun 1978 hampir keseluruhan
perempuan yang bekerja lebih dari sepuluh jam dalam sehari. Alasan lain
perempuan bertahan pada sector perdagangan adalah adanya kesesuaian umum
perdagangan dengan kegiatan rumah tangga dan keterlibatan perempuan reproduksi
sosial yaitu pengasuhan anak, pemelihara rumah tangga dan sosialisasi.
Rumah tangga termiskin
adalah yang paling berkemungkinan mengakui dan menyetujui status sumbangan
perempuan untuk kelangsungan hidup. “domestisitas” yang berkembang menyangkal
kemampuan perempuan dan membatasi ruang idiologis mereka pada rumah tangga.
Tetapi di Manggarai perempuan bekerja memiliki peranan yang kuat dalam
kehidupan sehari-hari.
Warteg mempunyai
peranan penting di kampong karena warteg menyediakan makanan bagi para
pendatang sirkuler yang masih hidup sendiri atau hidup berkelompok yang disebut
pondok.
Deskripsi yang diajukan
ini memperlihatkan kepadatan aktivitas yang terkemas dalam ruang dan waktu
kampong. Pengemasan ini memaksimalkan kesempatan dan mengerangi kepadatan
dikarenakan fragmentasi dan fleksibilitas pekerjaan informan.
Kampong adalah suatu
masyarakat berskala kecil dimana interaksi hampir selalu secara langsung
berhadapan dan terjadi dalam jarak dekat. Berlawanan dengan modifikasi
kapitalis atas ruang dan waktu.
BAB
V
ANARKI
SEBAGAI CARA HIDUP
Setiap rumah tangga
dihubungkan oleh aktivitas-aktivitas subsistensi dan informal, etnisitas juga
jaringan perempuan yang berperan penting dalam mendukung suatu lingkungan
sosial ekonomi. Jaringan perempuan pada dasarnya berorientasi gossip,
melibatkan kelompok-kelompok informal tetangga dan aktivitas-aktivitas
terorganisasi seperti arisan juga kelompok keagamaan. Gossip ini berkisar
antara uang, seks, keluarga, makanan dan agama. Organisasi ibu-ibu PKK di
Manggarai bertugas untuk mengorganisir uang untuk masjid-masjid, perempuan yang
membutuhkan dan kursus-kursus seperti menjahit atau memasak. Sedangkan
laki-laki cenderung tidak membentuk kelompok kecuali perkumpulan berdasarkan
jenis pekerjaan atau sekedar nongkrong di warung.
Setiap rumah tangga
keluarga Manggarai menganut system kekerabatan jawa yakni matrifokal. Ini didevinisikan sebagai bentuk kekerabatan yang
berpusat pada perempuan. Dimana perempuan adalah focus dari hubungan-hubungan
dalam rumah tangga yang dipimpin oleh laki-laki maupun perempuan. Cirri ini
biasanya diaplikasikan pada komunitas masyarakat kelas bawah di Asia Tenggara.
Gagasan utama para
urban di Jakarta adalah memindahkan kekayaan ke desa guna membiayai keluarga,
merawat rumah, dsb. Dalam percakapan di Manggarai selama ini Jakarta dianggap
sebagai suatu dunia yang terpisah dan bukan bagian dari jawa. Namun sifat
non-kapitalis mereka menjadi sasaran tekanan-tekanan dari ideologi konsumeris
yang mendorong ketidakpuasan terhadap barang-barang kampong, sedang penetrasi
barang-barang dari sector kapitalis menaikkan ongkos kirim dan harga jual,
membuat beberapa pekerjaan tidak dapat dilakukan.
Jaringan sector
informal membantu menciptakan rasa komunitas di Manggarai. Jaringan ini membuat
seluruh keperluan sehari-hari tersedia dalam lingkungan dan memberikan wahana
pertukaran, kerja sama juga gossip. Menghasilkan uang bukan merupakan tujuan
utama yang penting adalah memelihara jaringan dan jasa sehari-hari yang
memberikan keamanan utama pada penghuni gang. Jadi, pedagang informal memiliki
peran ganda yakni sosial dan ekonomi. Kampong kota merupakan akibat dari
kebijakan-kebijakan keras yang semena-mena menimbulkan anti-kemapanan yang meningkat. “Apapun yang mereka perlukan, mereka
sediakan sendiri—rumah, pekerjaam, fasilitas, keamanan sosial—tanpa pertolongan
dan bantuan pihak luar. Mereka menganggap pemeritah sebagai lembaga yang
menakutkan dan pengganggu kehidupan mereka.”.
BAB
VI
DISILUSI
KOTA
Tujuan dari kebijakan
pemerintah adalah untuk memformalkan seluruh perdagangan ke dalam pasar-pasar resmi
gedung bertembok yang dijalankan oleh perusahaan milik Negara PD Pasar Jaya.
Sementara, becak-becak kampong mulai menghilang tahun 1984 karena razia
terhadap becak ditingkatkan. Para penarik becak diberikan pilihan program
latihan, ditransmigrasikan atau dipulangkan ke kampong halamn mereka. namun,
tidak ada satupun yang memilih untuk dipulangkan. Pengemudi becak merupakan
pekerjaan berat, sementara para pemimpin menganggap becak menurunkan martabat
kota.
Critchfield menyatakan
bahwa Jakarta adalah kota pertama di dunia ke tiga yang mengalami migrasi
balik, karena meningkatnya kemakmuran desa dan merosotnya angka kelahiran. Desa
mulai terlihat menarik ketika listrik masuk desa. Mempertahankan hidup semakin
sulit bagi perempuan pedagang jalanan dan perempuan tua yang tetap bekerja
untuk memelihara hubungan sosial dari pada untuk mencari laba.
Menurut konvensi sosial
tentang jalan lurus dalam kehidupan,
anak-anak perempuan diharapkan untuk tetap tinggal dirumah dengan para kerabat
atau majikan sampai mereka menikah dan mampu untuk pindah, tetapi tinggal di
rumah berarti bisa di Jakarta atau di desa. Perempuan-perempuan muda datang ke
Manggarai berspekulasi untuk mendapatkan pekerjaan, tidak semua bernasib baik.
Di Jakarta kepentingan buruh pabrik perempuan meningkat sementara upahnya
turun. Rata-rata usia buruh 20-30 tahun dengan pendidikan terakhir sekolah
dasar dan berasal dari ekonomi rendah. Rata-rata dari mereka tidak mengetahui
mengenai hokum. Pada umumnya, upah dan kondisi di Indonesia tampak mendukung
pernyataan bahwa “perempuan dunia ke tiga merupakan buruh termurah yang
tersedia di sector informal”.
Generasi muda lainnya
membuat pemutusan dan menjalani gaya hidup yang lebih bahaya, serta melibatkan
kejahatan, obat bius, dan pelacuran yang di beri lebel jalan sesat dalam kehidupn bermasyakat.
BAB
VII
PUNK
DAN PELACUR
Gadis baik-baik adalah
mereka yang bekerja di rumah atau di tempat lain, menerima norma-norma sosial
dan penindasan seksual. Mereka tidak minim-minuman keras dan merokok, pergi ketempat-tempat
baru sendirian atau masih di luar rumah pukul 11 malam. Dalam penolakan
anarkisnya untuk berpartisipasi, bentu-bentuk tertentu budaya kaum
mudamencptakan daya tarik tersendiri untuk di ikuti bertindak sebagai penentang
subversive terhadap perhatian-perhatian dalam wacana hegomonis.
Subkultur bersifat
dinamis, dalam hal unsure-unsur radikal yang popular cenderung di lucuti
maknanya dan di serap ke dalam wacana hegomonis, sehingga budaya hidup itu
secara konstan bergerak memasuki ruang-ruang baru. Permpuan-perempuan yang
ambil bagian dalam kehidupan dan subkultur jalanan, termasuk penyanyi dan
penari professional pada umumnya dianggap pelacur, karena dalam perilakunya
jauh dari standart patriarchal islam. Pelacur paling bwah terdapat di Kramat
Tunggak dekat Tanjung Priok. Pelacuran secara resmi baru di larang pada tahun
1969. Meskipun Kramat Tunggak kasar dan ribut, kejahatan da narkotik dikontrol
dengan ketat oleh para germo dan penjaga keamanan mereka. Masuknya mereka ke
dunia pelacuran tidaklah petologis, karena terbatasnya alternative pada
mereka.
Tidak ada system
pemabyaran yang jelas untu gadis-gadis ini, tetapi mereka harus tahu dan
hubungannya tetap baik dengan pemilik dan penjaga keamanan dan kadang-kadang
harus member mereka seks gratis ketika mereka baru pertama kali mulai. Juga
dengan polisi-polisi yang tidak sedang bertugas yang menghendaki pelayanan ini.
Ada sejumlah perempuan yang lebih tua yang sudah tidak menghendaki bekerja
sebagai pelacur tetapi masih mengunjungi bar-bar dan mencari pelanggan untuk
perempuan lain mereka disebut tante
girang. Tahun 1989 bar yang terkenal adalah bar bintang dengan gadis-gadis
bintang di dalamnya sedangkan hotel yang terkenal adalah paradise. Berbeda
dengan Bangkok, Indonesia tidak mempunyai industry wisata seks. Bangka adalah
daerah elite tempat para pelacur-pelacur tinggal. Sekitar blok M jumlah
gadis-gadis di bar-bar dan di jalanan membengkak. Terdapat lebih banyak pelcur
dari latar belakang miskin yang masih diorganisir dengan longgar dalam kelompok-kelompok
sesuai dengan tempat mereka bekerja. Gadis-gadis dari rumah dekat jalan besar
tidak suka menyebut diri mereka perempuan eksperimen(perek). Ada hubungan yang
ambivalen antara kelas-kelas, yang lebih menyerupai yang ada dalam subkultur punk yang mulai di ambil alih oleh
remaja kelas menengah
BAB
VIII
MATI
ATAU BELI
Konsep kampong sebagai
suatu komunitas dan cenderung bersifat matrifokal. Ruangannya adalah “ruang
wanita”. Berkembangnya domestikasi kekerabatan mengurangi nilai-nilai komunal
dan determinasi diri perempuan sendiri. Perkembangan hubungan-hubungan kelas
kapitalis, kususnya proletarianisasi, disertai peningkatan wilayah public dan
private, dengan ruang wanita dibatasi wilayah private atau domestic. Cirri-ciri
rutinitas yang terproletarianisasiii di bentuk melalui konstruksi ruang dan
waktu sebagai sumberdaya kapitalis.
Pelacur-pelacur
diperlakukan sebagai barang dagangan dan direndahkan sebagai orang penympang
amoral atau patologis. Mereka sebenarnya melakukan pilihan yang rasional dalam
menanggapi prospek ekonomi kota ini, dalam menjual tubuh mereka sebagai barang
dagangan mengeksploitasi system kapitalis untuk tujuan-tujuan mereka sendiri.
Kampong kelas bawah di manggarai sebagai suatu komunitas subsistem anarkis yang
memiliki sedikit keterlibatan dengan Negara yang lebi luas, yang dipandang
sebagai bertentangan dengan kepentingannya.
Komunitas adalah suatu
realitas fenomenologis bagi perempuan tua di gang dan realitas ini meliputi
pandangan mengenai ruang sebagai suatu sumber daya komunitas. Perempuan muda
baik-baik juga mengidentifikasi gagasan-gagasan yang mendasari penentuan tipe
pekerjaan yang mereka lakukan yakni:
1.
Idiologi kepasifan perempuan digunakan
sebagai alasan untuk mengeksploitasi perempuan dengan membayar upah yang rendah.
2.
Idiologi yang dianggap religious
mendefinisikan jalan yang lurus dan sesat dalam kehidupan dan mengkutuks seks
diluar pernikahan. Seks digunakan untuk menilai moralitas perempuan tetapi
tidak untuk laki-laki.
3.
Idiologi konsumeris terkait dengan
aspirasi universal tetang pernikahan dalam citra yang diberikan kepada seorang
perempuan tentang masa depannya sebagai ibu rumah tangga.
Urbanisasi penduduk ke
Jakarta menghancurkan gaya hidup tradisional dan menggantinya dengan
semi-tradisional atau pseudo-tradisional yang disesuaikan dengan kehidupan.
Citra tentang perempuan ideal adalah seorang perempuan yang terampilan dalam
pekerjaan rumah dan dalam mendidik pembantunya. Sementara itu moralitas
perempuan yang baik diterapkan pada kampong kelas bawah. Akibatnya
pengkonstrusksian wilayah pribadi perempuan bertentagan dengan wilayah public
laki-laki.
BAB
IX
PENDAPAT
MENGENAI ISI BUKU
Kelurahan manggarai
yang terletak di kecamatan tebet Jakarta selatan terbagi menjadi dua wilayah
yakni manggarai dan manggarai selatan. Pada sensus penduduk tahun 2000 jumlam
pendudu di wilayah manggarai 29524 jiwa dan manggarai selatan 23108 jiwa. Umtuk
ukuran kelurahan manggarai merupakan daerah yang padat.
Gambar 1.1 kelurahan Manggarai
Buku ini mengulas
tentang kehidupan masyarakat kelas bawah atau yang biasa disebut dengan kaum
marginal. Kaum marginal yang tinggal di wilayah manggarai adalah masyarakat
pendatang yang rata-rata tidak memiliki keahlian kusus. Mereka mengadu nasib
datang ke Jakarta berharap mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Sementara
itu, Jakarta sebagai provinsi besar tidak sanggup lagi menampung para urbanisasi.
Para pelacur dan
pedagang jalanan merupakan korban dari perputaran arus ekonomi. Pembangunan
yang dilakukan pemerintah tidak sanggup mengubah nasib mereka. bagi mereka
pembangunan tidak berpengaruh dalam kehidupannya. Dengan menggunakan metode
oral description Alison mencoba mengulas kehidupan manggarai.
Menurut saya kemiskinan
diwilayah manggarai memiliki fungsi tersendiri yang tidak tergantikan. Di mana
setiap fungsi itu saling berhubungan. Contohnya pedagang jalanan seperti warung
Tessy yang buka 24 jam di pinggir jalan memiliki fungsi yang tidak tergantikan
sebagai tempat makanan murah atau sekilas nongkrong penghilang penat. Begitu
pula dengan pelacur Jakarta seperti carol gadis bintang yang sering menjalini
kawin kontrak dengan para bule/wisatawan asing. Mereka memiliki fungsi yakni
pelampiasan seks. Sedangkan bagi carol, ia membutuhkan uang dari WNA pengguna
jasanya ini sebagai biaya hidup. Sulit untuk menghapuskan pedagang jalanan dan
para pelacur ini. Walaupun razia sedang ditingkatkan pelanggan mereka tetap
ada. Fungsi yang mereka jalani ini tidak akan tergantikan oleh masyarakat kelas
atas yang kebanyakan hanya sebagai pemakai.
Pada tahun-tahun ini
terjadi relokasi baik pedagang jalanan maupun pelacur. Tujuan dari relokasi
pedagang ini adalah tata ruang kota. Tetapi relokasi ini tidak banyak mengubah
nasib para pedagang. Sewa tepat dagangan sangat tinggi sehingga mereka harus
menaikkan harga jual. Sedangkan mereka sangat sulit untuk berkembang selain
terkendala modal juga minimnya pengetahuan tentang dunia perdagangan dan pruduk
yang mereka jual. Pemerintah mengupayakan kredit UKM dengan bunga yang rendah
bahkan tanpa bunga, tetapi ini tidak banyak membantu karena mereka tidak
mempunyai barang sebagai jaminan. Apalagi dewasa ini industrilisasi sedang
berkembang pesat. Usaha padat modal lebih bisa bersain dibandingkan dengan
usaha padat karya. Posisi mereka semakin terpinggirkan. Program pemerintah
hanya sebatas program tanpa ada goals yang jelas dan berguna bagi pedagang
jalanan ini.
Tidak kalah dengan
pedagang jalanan nasib para pelacur ini juga sama. Pemerintah pernah mengajukan
pilihan bagi mereka mengikuti pelatihan, relokasi atau dipulangkan dengan
pemberian modal Rp 5.000.000. bagi mereka uang sebesar itu bisa di dapat dalam
beberapa hari kerja saja. Akhirnya banyak diantara mereka memilih untuk
relokasi. Tetapi seiring perkembangan zaman mereka tidak lagi harus menunggu
pelanggan di bar atau diskotik. Bisnis pelacuran ini sudah bisa ditemukan
melalui media online. Pemesanan bisa dilakukan dengan cara mendaftar terlebih
dahulu sebagai member dan mentranfer sejumlah uang untuk bisa menjadi pemakai. Sekarang
juga banyak hotel-hotel yang bisa dipakai dan buka 24 jam juga. Semua ini
memiliki fungsi dan fungsi ini tidak akan tergantikan. Tujuan pemerintah
merelokasi para pelacur ini adalah untuk mengurangi dampak dari pekerjaan ini.
Di tempat-tempat relokasi banyak didirikan pusat layanan kesehatan untuk
memeriksa penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh para pekerjanya dan memutus
rantai penyakit ini. Tetapi siapa sangka di Surabaya ibu-ibu pedagang pasar
keputran mempunyai kebiasaan meminum sperma yang berasal dari tempat
lokalisasi. Ini bertujuan untuk penambah stamina karena rata-rata pedagang ini
merupakan janda. Sangat sulit untuk memutuskan rantai ini.
Sumber
Alison Muray Pelacur dan pedagang jalanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar