Senin, 06 Mei 2013

Pelacur dan pedagang jalanan ibu kota


BAB I
KENYATAAN & ILUSI

Sekitar 30 persen dari pekerja perempuan adalah pedagang jalanan, 30 persen lainnya dipekerjakan dalam produksi tidak tetap atau domestic, 25 persen bekerja sebagai pembantu rumah tangga, 15 persen bekerja di sector formal. Nilai-nilai materialis mereka adalah indikasi kecenderungan umum perubahan sikap perempuan kelas bawah di Jakarta. Kebanyakan penghuni jalan sempit(gang) adalah orang-orang pendatang dari jawa.
Perempuan Jakarta dalam hal ini adalah “ibu” memiliki dua pencitraan. Pencitraan ini biasanya melambangkan perempuan dari kelas bawah. Citra pertama korban tidak berdosa akibat kebodohannya sehingga menjadikan mereka sebagai korban kapitalis. Citra ke-dua yakni perempuan merupakan seorang dewi gaib yang sesungguhnya tidak mempunyai kekuasaan selain sebagai ibu rumah tangga dan istri. Dalam tradisi jawa menjadi ibu rumah tangga merupakan hak istimewa bahwa seseorang bebas tiggal dirumah.
Menurut Aderson bahwa kekuasaan memiliki realitas eksistensial yang kongkrit, sehingga menghindari persoalan legitimasi dan perwakilan. Pengetahuan adalah kunci kekuasaan. Penciptaan peran gender dan komodifikasi ruang dan waktu dilihat Giddens sebagai suatu strukturasi. Kehidupan sehari-hari di kampong adalah strategi untuk bertahan hidup, yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan massa ini sebagai kaum marginal yang jumlahnya melimpah ruah dengan budaya kemiskinan. Mitos marginalitas mencakup satu mitos tentang pasivitas politik dan konservatisme di kampong.




BAB II
FANTASI JAYA JAKARTA

Kota Jakarta berkembang sesuai dengan arah kebijakan pemerintah dan implementasi dari idiologi-idiologi. Batavia yang menjadi cikal-bakal kota megapolitan Jakarta dibangun oleh belanda pada tahun 1619. Sedangkan provinsi DKI Jakarta secara resmi dibentuk secara resmi tahun 1961. Pertumbuhan penduduk di kota Jakarta sangat pesat setelah era 1950an. Pada tahun 1950 penduduk Jakarta berjumlah ±2,9 juta jiwa pada tahun 1985 jumlah penduduk mencapai ±7,8 juta jiwa. Kenaikan penduduk ini sangat signifikan. Sementara ibu kota mengalami ledakan penduduk, kontruksi gedung-gedung tinggi mulai menjamuri ibukota. Kampong-kampung kota mulai bermunculan dan berkembang pesat.
Namun, tidak ada devinisi pasti tentang kampong perkotaan. Krausse mendefinisikan kampong merupakan wilayah pemukiman dengan penghuni berstatus sosial rendah dengan tipe rumah dibawah standart. Perkampungan paling tua di Jakarta terletak di bagian barat laut kota yakni senen, jatinegara timur dan sekitar tanah abang. Kampong sebagian besar dihuni oleh para pendatang. Mereka pada awalnya hidup secara berkelompok sehingga banya terbentuk perkampungan berdasarkan etnis seperti kampong jawa, kampong ambon dst. Namun, setelah kemerdekaan penduduk Jakarta didominasi urban dari jawa.
Unsure budaya masyarakat betawi yang masih dipertahankan adalah dialek (omong) Jakarta dan slang jalanan (prokem). Perkampungan kota awal masyarakatnya tergantung pada sector perkebunan. Seiring berkembangnya industrilisasi maka perkebunan mulai ditutup dan didirikan pabrik-pabrik besar. Faktanya pada zaman penjajahan belanda akhir masyarakat kelas bawa telah hidup secara bersama-sama 3-5 orang dalam satu kamar. Kampong sama sekali bukan “desa perkotaan” tetapi punya evolusi perkotaan dan karakteristik sendiri.
Di Jakarta sector informal mulai berkembang pesat mulai pada abad ke-19. Ini terkait dengan perkembangan kapitalis. Masyarakat yang bekerja pada sector informal sebagai pedagang. Baik pedagang bahan makanan maupun makanan siap saji.
Sejak tahun 1961 DKI Jakarta terbagi menjadi 5 kota, 20 kecamatan dan 236 kelurahan sebagai pemerintahan terendah yang diakui Negara. Sedangkan secara sukarela masyarakat membentuk RT dan RW secara sukarela sebagai organisasi kemasyarakatan yang pertama kali di bentuk pada saat pemerintahan presiden Soekarno. Dengan tujuan mempertemukan politik formal dengan informal. Tetapi faktanya RT dan RW hanya sebagai tempat pengumpulan data/informasi kriminalitas yang dilakukan warganya.
BAB III
KEBENARAN DAN KEMATIAN DI MANGGARAI

Kelurahan Manggarai terletak di kecamatan Tebet, Kota Jakarta Selatan. Kelurahan ini terdiri atas 12 RW. Masing-masing RW terdiri atas 10-15 RT yang keseluruhannya berjumlah 167 peda tahun 1977. Disekitar bantaran ciliwung berdiam orang-orang termiskin di Jakarta. Jembatan manggarai merupakan perkumpulan komunitas perdagangan bamboo. Disekitar jembatan terdapat sebuah perkumpulan pemungut dan pencari sampah. Komunitas pemulung lain berada di sepanjang rel antara stasiun manggarai dan bukit Duri. Pengrajin bamboo mendiami antara pasar dan pangkalan pusat penjualan bamboo.
Manggarai pada tahun 1980 merupakan kawasan yang ke banyakan terdiri dari gang, bercirikan spesialisasi intra local, mengelompok sekitar asal-usul dan kekerabatan. Merekam mengutamaan sector informal dalam bidang padat karya. Pada tahun 1984 manggarai terkenal sebagai daerah yang buruk karena para penjahat banyak dibuang ke daerah itu. para penjahat ini kebanyakan merupakan warga luar kota Jakarta. Masyarakat Manggarai sendiri berasal dari orang-orang manggarai dari flores barat. Mereka sengaja didatangkan ke Jakarta untuk dijadikan budak setempat pada masa kolonial.
Peninggalan kolonial yang tampak hingga saat ini di manggarai adalah stasiun kereta api dan tanah disekitarnya. Perbaikan sarana utama di Jakarta berlangsung pada pemerintahan Ali Sadikin sebagai program perbaikan kampong.
Pertalian keluarga dan pertalian emosional dengan desa lebih kuat dari pada perasaan terhadap Manggarai. Ini timbul karena rumah dan tanah di desa biasanya dimiliki sendiri dan menjadi barang kebanggaan, sementara tempat tinggal di kota umumnya hanya sewa dengan keadaan yang tidak layak. Terdapat korelasi antara kekayaan dan status sosial dengan perbedaan jalan besar/gang. Umumnya warga yang tinggal di gang sempit merupakan komunitas masyarakat kelas ekonomi kebawah. Mereka juga mudah bergaul dan sering kumpul satu sama lain. Sedangkan masyarakat ekonomi menengah maupun atas tinggal di jalan-jalan besar. Untuk berinteraksi antar rumah mereka biasa menyuruh para pembantu.
Sejak dahulu Jakarta telah memikirkan akan dampak over urbanisasi. Pemerintah pernah membangun flat di kawasan tanah abang dan kebon kacang. Dengan ketentuan penghuni harus memiliki anak dua atau kurang dan jika tidak dapat membayar uang sewa mana akan ditranmigrasikan ke Kalimantan dan sumatera.

BAB IV
PEREMPUAN PEDAGANG JALANAN

Istilah “pedagang” dimanggarai sama dengan ditempat-tempat lain yakni mencakup pedagang kecil, pemilik warung, pedagang dipasar, dan pedagang keliling. Perempuan di Manggarai terpusat pada pedagang pasar, pedagang jalanan dan pemilik warung. Sedangkan untuk sopir dan pemilik jasa angkutan merupakan aktivitas eksklusif dari laki-laki seperti sopir bajaj, taksi, minibus dan penarik becak. Jika laki-laki berdagang biasanya mereka menggunakan pikulan atau gerobak dorong. Sedangkan satu-satunya pedagang perempuan yang menggunakan pikulan adalah penjual jamu gendong tradisional. Pedagang di Maggarai merupakan pendatang dari kawasan pedesaan di Jawa. Mereka membawa tradisi yang berbeda-beda. Semua pedagang memiliki kepribadian yang kuat dan mengembangan cara kerja sendiri-sendiri. System perdagangan masyarakat Manggarai yang tergantung pada loyalitas pribadi
Kota-kota besar di seluruh jawa mempunyai hampir 50% bekerja disektor informal, 75% berdagang, 60% bekerja dirumah, dan 20% di RW mereka. pada tahun 1978 hampir keseluruhan perempuan yang bekerja lebih dari sepuluh jam dalam sehari. Alasan lain perempuan bertahan pada sector perdagangan adalah adanya kesesuaian umum perdagangan dengan kegiatan rumah tangga dan keterlibatan perempuan reproduksi sosial yaitu pengasuhan anak, pemelihara rumah tangga dan sosialisasi.
Rumah tangga termiskin adalah yang paling berkemungkinan mengakui dan menyetujui status sumbangan perempuan untuk kelangsungan hidup. “domestisitas” yang berkembang menyangkal kemampuan perempuan dan membatasi ruang idiologis mereka pada rumah tangga. Tetapi di Manggarai perempuan bekerja memiliki peranan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Warteg mempunyai peranan penting di kampong karena warteg menyediakan makanan bagi para pendatang sirkuler yang masih hidup sendiri atau hidup berkelompok yang disebut pondok.
Deskripsi yang diajukan ini memperlihatkan kepadatan aktivitas yang terkemas dalam ruang dan waktu kampong. Pengemasan ini memaksimalkan kesempatan dan mengerangi kepadatan dikarenakan fragmentasi dan fleksibilitas pekerjaan informan.
Kampong adalah suatu masyarakat berskala kecil dimana interaksi hampir selalu secara langsung berhadapan dan terjadi dalam jarak dekat. Berlawanan dengan modifikasi kapitalis atas ruang dan waktu.
BAB V
ANARKI SEBAGAI CARA HIDUP

Setiap rumah tangga dihubungkan oleh aktivitas-aktivitas subsistensi dan informal, etnisitas juga jaringan perempuan yang berperan penting dalam mendukung suatu lingkungan sosial ekonomi. Jaringan perempuan pada dasarnya berorientasi gossip, melibatkan kelompok-kelompok informal tetangga dan aktivitas-aktivitas terorganisasi seperti arisan juga kelompok keagamaan. Gossip ini berkisar antara uang, seks, keluarga, makanan dan agama. Organisasi ibu-ibu PKK di Manggarai bertugas untuk mengorganisir uang untuk masjid-masjid, perempuan yang membutuhkan dan kursus-kursus seperti menjahit atau memasak. Sedangkan laki-laki cenderung tidak membentuk kelompok kecuali perkumpulan berdasarkan jenis pekerjaan atau sekedar nongkrong di warung.
Setiap rumah tangga keluarga Manggarai menganut system kekerabatan jawa yakni matrifokal. Ini didevinisikan sebagai bentuk kekerabatan yang berpusat pada perempuan. Dimana perempuan adalah focus dari hubungan-hubungan dalam rumah tangga yang dipimpin oleh laki-laki maupun perempuan. Cirri ini biasanya diaplikasikan pada komunitas masyarakat kelas bawah di Asia Tenggara.
Gagasan utama para urban di Jakarta adalah memindahkan kekayaan ke desa guna membiayai keluarga, merawat rumah, dsb. Dalam percakapan di Manggarai selama ini Jakarta dianggap sebagai suatu dunia yang terpisah dan bukan bagian dari jawa. Namun sifat non-kapitalis mereka menjadi sasaran tekanan-tekanan dari ideologi konsumeris yang mendorong ketidakpuasan terhadap barang-barang kampong, sedang penetrasi barang-barang dari sector kapitalis menaikkan ongkos kirim dan harga jual, membuat beberapa pekerjaan tidak dapat dilakukan.
Jaringan sector informal membantu menciptakan rasa komunitas di Manggarai. Jaringan ini membuat seluruh keperluan sehari-hari tersedia dalam lingkungan dan memberikan wahana pertukaran, kerja sama juga gossip. Menghasilkan uang bukan merupakan tujuan utama yang penting adalah memelihara jaringan dan jasa sehari-hari yang memberikan keamanan utama pada penghuni gang. Jadi, pedagang informal memiliki peran ganda yakni sosial dan ekonomi. Kampong kota merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan keras yang semena-mena menimbulkan anti-kemapanan yang meningkat. “Apapun yang mereka perlukan, mereka sediakan sendiri—rumah, pekerjaam, fasilitas, keamanan sosial—tanpa pertolongan dan bantuan pihak luar. Mereka menganggap pemeritah sebagai lembaga yang menakutkan dan pengganggu kehidupan mereka.”.
BAB VI
DISILUSI KOTA

Tujuan dari kebijakan pemerintah adalah untuk memformalkan seluruh perdagangan ke dalam pasar-pasar resmi gedung bertembok yang dijalankan oleh perusahaan milik Negara PD Pasar Jaya. Sementara, becak-becak kampong mulai menghilang tahun 1984 karena razia terhadap becak ditingkatkan. Para penarik becak diberikan pilihan program latihan, ditransmigrasikan atau dipulangkan ke kampong halamn mereka. namun, tidak ada satupun yang memilih untuk dipulangkan. Pengemudi becak merupakan pekerjaan berat, sementara para pemimpin menganggap becak menurunkan martabat kota.
Critchfield menyatakan bahwa Jakarta adalah kota pertama di dunia ke tiga yang mengalami migrasi balik, karena meningkatnya kemakmuran desa dan merosotnya angka kelahiran. Desa mulai terlihat menarik ketika listrik masuk desa. Mempertahankan hidup semakin sulit bagi perempuan pedagang jalanan dan perempuan tua yang tetap bekerja untuk memelihara hubungan sosial dari pada untuk mencari laba.
Menurut konvensi sosial tentang jalan lurus dalam kehidupan, anak-anak perempuan diharapkan untuk tetap tinggal dirumah dengan para kerabat atau majikan sampai mereka menikah dan mampu untuk pindah, tetapi tinggal di rumah berarti bisa di Jakarta atau di desa. Perempuan-perempuan muda datang ke Manggarai berspekulasi untuk mendapatkan pekerjaan, tidak semua bernasib baik. Di Jakarta kepentingan buruh pabrik perempuan meningkat sementara upahnya turun. Rata-rata usia buruh 20-30 tahun dengan pendidikan terakhir sekolah dasar dan berasal dari ekonomi rendah. Rata-rata dari mereka tidak mengetahui mengenai hokum. Pada umumnya, upah dan kondisi di Indonesia tampak mendukung pernyataan bahwa “perempuan dunia ke tiga merupakan buruh termurah yang tersedia di sector informal”.
Generasi muda lainnya membuat pemutusan dan menjalani gaya hidup yang lebih bahaya, serta melibatkan kejahatan, obat bius, dan pelacuran yang di beri lebel jalan sesat dalam kehidupn bermasyakat.




BAB VII
PUNK DAN PELACUR

Gadis baik-baik adalah mereka yang bekerja di rumah atau di tempat lain, menerima norma-norma sosial dan penindasan seksual. Mereka tidak minim-minuman keras dan merokok, pergi ketempat-tempat baru sendirian atau masih di luar rumah pukul 11 malam. Dalam penolakan anarkisnya untuk berpartisipasi, bentu-bentuk tertentu budaya kaum mudamencptakan daya tarik tersendiri untuk di ikuti bertindak sebagai penentang subversive terhadap perhatian-perhatian dalam wacana hegomonis.
Subkultur bersifat dinamis, dalam hal unsure-unsur radikal yang popular cenderung di lucuti maknanya dan di serap ke dalam wacana hegomonis, sehingga budaya hidup itu secara konstan bergerak memasuki ruang-ruang baru. Permpuan-perempuan yang ambil bagian dalam kehidupan dan subkultur jalanan, termasuk penyanyi dan penari professional pada umumnya dianggap pelacur, karena dalam perilakunya jauh dari standart patriarchal islam. Pelacur paling bwah terdapat di Kramat Tunggak dekat Tanjung Priok. Pelacuran secara resmi baru di larang pada tahun 1969. Meskipun Kramat Tunggak kasar dan ribut, kejahatan da narkotik dikontrol dengan ketat oleh para germo dan penjaga keamanan mereka. Masuknya mereka ke dunia pelacuran tidaklah petologis, karena terbatasnya alternative pada mereka. 
Tidak ada system pemabyaran yang jelas untu gadis-gadis ini, tetapi mereka harus tahu dan hubungannya tetap baik dengan pemilik dan penjaga keamanan dan kadang-kadang harus member mereka seks gratis ketika mereka baru pertama kali mulai. Juga dengan polisi-polisi yang tidak sedang bertugas yang menghendaki pelayanan ini. Ada sejumlah perempuan yang lebih tua yang sudah tidak menghendaki bekerja sebagai pelacur tetapi masih mengunjungi bar-bar dan mencari pelanggan untuk perempuan lain mereka disebut tante girang. Tahun 1989 bar yang terkenal adalah bar bintang dengan gadis-gadis bintang di dalamnya sedangkan hotel yang terkenal adalah paradise. Berbeda dengan Bangkok, Indonesia tidak mempunyai industry wisata seks. Bangka adalah daerah elite tempat para pelacur-pelacur tinggal. Sekitar blok M jumlah gadis-gadis di bar-bar dan di jalanan membengkak. Terdapat lebih banyak pelcur dari latar belakang miskin yang masih diorganisir dengan longgar dalam kelompok-kelompok sesuai dengan tempat mereka bekerja. Gadis-gadis dari rumah dekat jalan besar tidak suka menyebut diri mereka perempuan eksperimen(perek). Ada hubungan yang ambivalen antara kelas-kelas, yang lebih menyerupai yang ada dalam subkultur punk yang mulai di ambil alih oleh remaja kelas menengah
BAB VIII
MATI ATAU BELI

Konsep kampong sebagai suatu komunitas dan cenderung bersifat matrifokal. Ruangannya adalah “ruang wanita”. Berkembangnya domestikasi kekerabatan mengurangi nilai-nilai komunal dan determinasi diri perempuan sendiri. Perkembangan hubungan-hubungan kelas kapitalis, kususnya proletarianisasi, disertai peningkatan wilayah public dan private, dengan ruang wanita dibatasi wilayah private atau domestic. Cirri-ciri rutinitas yang terproletarianisasiii di bentuk melalui konstruksi ruang dan waktu sebagai sumberdaya kapitalis.
Pelacur-pelacur diperlakukan sebagai barang dagangan dan direndahkan sebagai orang penympang amoral atau patologis. Mereka sebenarnya melakukan pilihan yang rasional dalam menanggapi prospek ekonomi kota ini, dalam menjual tubuh mereka sebagai barang dagangan mengeksploitasi system kapitalis untuk tujuan-tujuan mereka sendiri. Kampong kelas bawah di manggarai sebagai suatu komunitas subsistem anarkis yang memiliki sedikit keterlibatan dengan Negara yang lebi luas, yang dipandang sebagai bertentangan dengan kepentingannya.
Komunitas adalah suatu realitas fenomenologis bagi perempuan tua di gang dan realitas ini meliputi pandangan mengenai ruang sebagai suatu sumber daya komunitas. Perempuan muda baik-baik juga mengidentifikasi gagasan-gagasan yang mendasari penentuan tipe pekerjaan yang mereka lakukan yakni:
1.        Idiologi kepasifan perempuan digunakan sebagai alasan untuk mengeksploitasi perempuan dengan membayar upah yang rendah.
2.        Idiologi yang dianggap religious mendefinisikan jalan yang lurus dan sesat dalam kehidupan dan mengkutuks seks diluar pernikahan. Seks digunakan untuk menilai moralitas perempuan tetapi tidak untuk laki-laki.
3.        Idiologi konsumeris terkait dengan aspirasi universal tetang pernikahan dalam citra yang diberikan kepada seorang perempuan tentang masa depannya sebagai ibu rumah tangga.
Urbanisasi penduduk ke Jakarta menghancurkan gaya hidup tradisional dan menggantinya dengan semi-tradisional atau pseudo-tradisional yang disesuaikan dengan kehidupan. Citra tentang perempuan ideal adalah seorang perempuan yang terampilan dalam pekerjaan rumah dan dalam mendidik pembantunya. Sementara itu moralitas perempuan yang baik diterapkan pada kampong kelas bawah. Akibatnya pengkonstrusksian wilayah pribadi perempuan bertentagan dengan wilayah public laki-laki.
BAB IX
PENDAPAT MENGENAI ISI BUKU

Kelurahan manggarai yang terletak di kecamatan tebet Jakarta selatan terbagi menjadi dua wilayah yakni manggarai dan manggarai selatan. Pada sensus penduduk tahun 2000 jumlam pendudu di wilayah manggarai 29524 jiwa dan manggarai selatan 23108 jiwa. Umtuk ukuran kelurahan manggarai merupakan daerah yang padat. 

Gambar 1.1 kelurahan Manggarai
Buku ini mengulas tentang kehidupan masyarakat kelas bawah atau yang biasa disebut dengan kaum marginal. Kaum marginal yang tinggal di wilayah manggarai adalah masyarakat pendatang yang rata-rata tidak memiliki keahlian kusus. Mereka mengadu nasib datang ke Jakarta berharap mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Sementara itu, Jakarta sebagai provinsi besar tidak sanggup lagi menampung para urbanisasi.
Para pelacur dan pedagang jalanan merupakan korban dari perputaran arus ekonomi. Pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak sanggup mengubah nasib mereka. bagi mereka pembangunan tidak berpengaruh dalam kehidupannya. Dengan menggunakan metode oral description Alison mencoba mengulas kehidupan manggarai.
Menurut saya kemiskinan diwilayah manggarai memiliki fungsi tersendiri yang tidak tergantikan. Di mana setiap fungsi itu saling berhubungan. Contohnya pedagang jalanan seperti warung Tessy yang buka 24 jam di pinggir jalan memiliki fungsi yang tidak tergantikan sebagai tempat makanan murah atau sekilas nongkrong penghilang penat. Begitu pula dengan pelacur Jakarta seperti carol gadis bintang yang sering menjalini kawin kontrak dengan para bule/wisatawan asing. Mereka memiliki fungsi yakni pelampiasan seks. Sedangkan bagi carol, ia membutuhkan uang dari WNA pengguna jasanya ini sebagai biaya hidup. Sulit untuk menghapuskan pedagang jalanan dan para pelacur ini. Walaupun razia sedang ditingkatkan pelanggan mereka tetap ada. Fungsi yang mereka jalani ini tidak akan tergantikan oleh masyarakat kelas atas yang kebanyakan hanya sebagai pemakai.
Pada tahun-tahun ini terjadi relokasi baik pedagang jalanan maupun pelacur. Tujuan dari relokasi pedagang ini adalah tata ruang kota. Tetapi relokasi ini tidak banyak mengubah nasib para pedagang. Sewa tepat dagangan sangat tinggi sehingga mereka harus menaikkan harga jual. Sedangkan mereka sangat sulit untuk berkembang selain terkendala modal juga minimnya pengetahuan tentang dunia perdagangan dan pruduk yang mereka jual. Pemerintah mengupayakan kredit UKM dengan bunga yang rendah bahkan tanpa bunga, tetapi ini tidak banyak membantu karena mereka tidak mempunyai barang sebagai jaminan. Apalagi dewasa ini industrilisasi sedang berkembang pesat. Usaha padat modal lebih bisa bersain dibandingkan dengan usaha padat karya. Posisi mereka semakin terpinggirkan. Program pemerintah hanya sebatas program tanpa ada goals yang jelas dan berguna bagi pedagang jalanan ini.
Tidak kalah dengan pedagang jalanan nasib para pelacur ini juga sama. Pemerintah pernah mengajukan pilihan bagi mereka mengikuti pelatihan, relokasi atau dipulangkan dengan pemberian modal Rp 5.000.000. bagi mereka uang sebesar itu bisa di dapat dalam beberapa hari kerja saja. Akhirnya banyak diantara mereka memilih untuk relokasi. Tetapi seiring perkembangan zaman mereka tidak lagi harus menunggu pelanggan di bar atau diskotik. Bisnis pelacuran ini sudah bisa ditemukan melalui media online. Pemesanan bisa dilakukan dengan cara mendaftar terlebih dahulu sebagai member dan mentranfer sejumlah uang untuk bisa menjadi pemakai. Sekarang juga banyak hotel-hotel yang bisa dipakai dan buka 24 jam juga. Semua ini memiliki fungsi dan fungsi ini tidak akan tergantikan. Tujuan pemerintah merelokasi para pelacur ini adalah untuk mengurangi dampak dari pekerjaan ini. Di tempat-tempat relokasi banyak didirikan pusat layanan kesehatan untuk memeriksa penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh para pekerjanya dan memutus rantai penyakit ini. Tetapi siapa sangka di Surabaya ibu-ibu pedagang pasar keputran mempunyai kebiasaan meminum sperma yang berasal dari tempat lokalisasi. Ini bertujuan untuk penambah stamina karena rata-rata pedagang ini merupakan janda. Sangat sulit untuk memutuskan rantai ini.



Sumber
Alison Muray Pelacur dan pedagang jalanan

Tidak ada komentar: