Selasa, 15 November 2011

Disaster Victim Identification

Bagi para pecinta cerita misteri, pasti akan merasa sangat tertarik jika membahas mengenai proses identifikasi jenasah, yang jika dilakukan dengan benar maka dapat “menceritakan” bagaimana proses kematian para korban dan penyebab kematiannya. Nah, ternyata di Indonesia juga ada badan yang secara khusus menangani kegiatan yang disebut dengan DVI , tidak hanya ada di cerita-cerita novel atau pun film saja.

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana  yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dengan jumlah korban dan skala kecil serta dapat pula diterapkan terhadap insiden lainnya dalam pencarian korban.
Adapun sejarah dilakukannya DVI ini adalah sebagai berikut
Telah banyak peristiwa bencana massal yang terjadi di Indonesia, baik itu merupakan bencana alam maupun akibat kelalaian manusia telah ditangani oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun dari bantuan pihak-pihak lain. Indonesia pernah tercatat juga sebagai negara terjadinya letusan super-vulcano yang menurut sejarahnya yaitu di Danau Toba yang kini terletak di Propinsi Sumatera Utara yang dulunya adalah merupakan sebuah gunung berapi yang kemudian meletus dengan kekuatan vulkanik terbesar dalam dua juta tahun terakhir. Meletusnya gunung Tambora di Pulau Sumbawa tahun 1815 dan gunung Krakatau tahun 1885 juga telah tercatat dalam sejarah bencana di Indonesia yang menelan korban ratusan ribu jiwa. 
Peristiwa terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas II di perairan Masalembo tanggal 27 Januari 1981 yang dinakhodai oleh Kapten Rivai kiranya dapat dijadikan momen yang cukup bersejarah, dimana ratusan korban mati yang ditemukan telah dipilih dengan berdasarkan jenis kelamin dan umur secara kasar untuk memudahkan “identifikasi” oleh keluarganya. Begitu pula dengan peristiwa kecelakaan jatuhnya pesawat Mandala RI 660 di Ambon yang menelan korban sebanyak 70 korban mati juga telah dicoba untuk dilakukan ’identifikasi’ oleh personel Dokkes Polri (Mayor Pol Dr. Jaya Atmaja, saat ini Sespusdokkes Polri).  Namun demikian peristiwa bencana tersebut hanya dilakukan identifikasi secara sederhana dan belum menerapkan prinsip standar identifikasi Interpol yang dikenal sekarang. Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban mati sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99 % yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa kasus-kasus bencana di Indonesia dimana prosedur DVI telah diterapkan antara lain pada peristiwa Bom Bali I – Oktober 2002, Bom Hotel JW Marriott Jakarta – Agustus 2003, Tragedi Terbakarnya Bis di Situbondo, Jatim-Oktober 2003, Bom di Kedubes Australia Jakarta – September 2004,  Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh dan Nias – Desember 2004 s/d Januari 2005, Bom Bali II – Oktober 2005, Kecelakaan Pesawat Mandala Airlines, Medan – September 2005, Peristiwa Penangkapan DR. Azahari Batu Malang – November 2005, Peristiwa Penangkapan Teroris di Wonosobo – April 2006, Gempa Bumi di Yogya dan Jateng – Mei 2006 dan Tsunami di Pangandaran-Juli 2006, Kecelakaan pesawat Adam Air – Januari 2007, Kecelakaan KM Senopati, KM Tristar dan KM Levina, Kecelakaan pesawat Garuda – 2007, Jatuhnya pesawat TNI AU di Bogor - 26 Juni 2008, Kasus pembunuhan berantai oleh Ryan - Juli 2008, Tenggelamnya KM Teratai Prima di perairan Sulawesi Barat  - Januari 2009, Penanganan Kasus Kebakaran Hutan di Victoria.

Manajemen Korban meninggal pada Bencana Massal
Step 1 : di TKP
            Tujuannya : 1. Mengamankan TKP dengan “police line”
         2.  Mengumpulkan benda-benda yang mungkin berkaitan denngan korban dan evakuasi korban
3. Dokumentasi berupa fotografi TKP dan korban, kemudian pemberian label
Step 2 : Unit post Mortem
1.      Pengumpulan data Post-Mortem :
a.       Fotografi
b.      Hasil pemeriksaan medis
c.       Sidik jari
d.      Hasil Rontgen
e.       Odontologi Forensik
f.       Pengambilan sampel DNA
2.      Pencegahan perubahan data Post Mortem
Step 3 ; unit Ante Mortem
1.      Pengumpulan data Ante-Mortem, oleh keluarga
2.      Analisis data
3.      Penyimpulan
Step 4 : pembandingan dan Rekonsiliasi
Proses identifikasi yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari para ahli:
1.      Forensik patologi
2.      Dokter gigi
3.      Sidik jari
4.      Pencocokan dngan property
5.      Fotografi
Step 5 :
1.      Perawatan dan rekonstruksi korban sebelum dikembalikan kepada keluarga
2.      Pengurusan medico-legal dan administrasi ( sertifikat  dan asuransi)
Yang paling penting dalam identifikasi korban adalah keTEPATannya bukan keCEPATannya. Dalam identifikasi korban, seorang korban sudah dapat dipastikan identitasnya apabila telah ditemukan kecocokan pada 2 data primer, atau ditemukan kecocokan pada 1 data primer dan 2 sekunder. Adapun data primer dan sekunder adalah :
  1. Primer
      a. Sidik jari
      b. profil gigi
      c. DNA
  1. Sekunder
      a. Visual
      b. fotografi
      c. properti
d. medik-antropologi

Tidak ada komentar: