Disaster Victim Identification
Bagi para pecinta cerita misteri, pasti
akan merasa sangat tertarik jika membahas mengenai proses identifikasi
jenasah, yang jika dilakukan dengan benar maka dapat “menceritakan”
bagaimana proses kematian para korban dan penyebab kematiannya. Nah,
ternyata di Indonesia juga ada badan yang secara khusus menangani
kegiatan yang disebut dengan DVI , tidak hanya ada di cerita-cerita
novel atau pun film saja.
Disaster
Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu
pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi
Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi
visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi,
warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan. Prosedur
DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal,
seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar,
kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap
bencana dengan jumlah korban dan skala kecil serta dapat pula
diterapkan terhadap insiden lainnya dalam pencarian korban.
Adapun sejarah dilakukannya DVI ini adalah sebagai berikut
Telah
banyak peristiwa bencana massal yang terjadi di Indonesia, baik itu
merupakan bencana alam maupun akibat kelalaian manusia telah ditangani
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun dari bantuan
pihak-pihak lain. Indonesia pernah tercatat juga sebagai negara
terjadinya letusan super-vulcano yang menurut sejarahnya yaitu
di Danau Toba yang kini terletak di Propinsi Sumatera Utara yang
dulunya adalah merupakan sebuah gunung berapi yang kemudian meletus
dengan kekuatan vulkanik terbesar dalam dua juta tahun terakhir.
Meletusnya gunung Tambora di Pulau Sumbawa tahun 1815 dan gunung
Krakatau tahun 1885 juga telah tercatat dalam sejarah bencana di
Indonesia yang menelan korban ratusan ribu jiwa.
Peristiwa
terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas II di perairan Masalembo
tanggal 27 Januari 1981 yang dinakhodai oleh Kapten Rivai kiranya dapat
dijadikan momen yang cukup bersejarah, dimana ratusan korban mati yang
ditemukan telah dipilih dengan berdasarkan jenis kelamin dan umur
secara kasar untuk memudahkan “identifikasi” oleh keluarganya. Begitu
pula dengan peristiwa kecelakaan jatuhnya pesawat Mandala RI 660 di
Ambon yang menelan korban sebanyak 70 korban mati juga telah dicoba
untuk dilakukan ’identifikasi’ oleh personel Dokkes Polri (Mayor Pol
Dr. Jaya Atmaja, saat ini Sespusdokkes Polri). Namun demikian
peristiwa bencana tersebut hanya dilakukan identifikasi secara
sederhana dan belum menerapkan prinsip standar identifikasi Interpol
yang dikenal sekarang. Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia
diawali dengan dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat
Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban
mati sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang
lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99 % yang
teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Beberapa
kasus-kasus bencana di Indonesia dimana prosedur DVI telah diterapkan
antara lain pada peristiwa Bom Bali I – Oktober 2002, Bom Hotel JW
Marriott Jakarta – Agustus 2003, Tragedi Terbakarnya Bis di Situbondo,
Jatim-Oktober 2003, Bom di Kedubes Australia Jakarta – September
2004, Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh dan Nias – Desember 2004 s/d
Januari 2005, Bom Bali II – Oktober 2005, Kecelakaan Pesawat Mandala
Airlines, Medan – September 2005, Peristiwa Penangkapan DR. Azahari
Batu Malang – November 2005, Peristiwa Penangkapan Teroris di Wonosobo
– April 2006, Gempa Bumi di Yogya dan Jateng – Mei 2006 dan Tsunami di
Pangandaran-Juli 2006, Kecelakaan pesawat Adam Air – Januari 2007,
Kecelakaan KM Senopati, KM Tristar dan KM Levina, Kecelakaan pesawat
Garuda – 2007, Jatuhnya pesawat TNI AU di Bogor - 26 Juni 2008, Kasus
pembunuhan berantai oleh Ryan - Juli 2008, Tenggelamnya KM Teratai
Prima di perairan Sulawesi Barat - Januari 2009, Penanganan Kasus
Kebakaran Hutan di Victoria.
Manajemen Korban meninggal pada Bencana Massal
Step 1 : di TKP
Tujuannya : 1. Mengamankan TKP dengan “police line”
2. Mengumpulkan benda-benda yang mungkin berkaitan denngan korban dan evakuasi korban
3. Dokumentasi berupa fotografi TKP dan korban, kemudian pemberian label
Step 2 : Unit post Mortem
1. Pengumpulan data Post-Mortem :
a. Fotografi
b. Hasil pemeriksaan medis
c. Sidik jari
d. Hasil Rontgen
e. Odontologi Forensik
f. Pengambilan sampel DNA
2. Pencegahan perubahan data Post Mortem
Step 3 ; unit Ante Mortem
1. Pengumpulan data Ante-Mortem, oleh keluarga
2. Analisis data
3. Penyimpulan
Step 4 : pembandingan dan Rekonsiliasi
Proses identifikasi yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari para ahli:
1. Forensik patologi
2. Dokter gigi
3. Sidik jari
4. Pencocokan dngan property
5. Fotografi
Step 5 :
1. Perawatan dan rekonstruksi korban sebelum dikembalikan kepada keluarga
2. Pengurusan medico-legal dan administrasi ( sertifikat dan asuransi)
Yang paling penting dalam identifikasi korban adalah keTEPATannya bukan keCEPATannya.
Dalam identifikasi korban, seorang korban sudah dapat dipastikan
identitasnya apabila telah ditemukan kecocokan pada 2 data primer, atau
ditemukan kecocokan pada 1 data primer dan 2 sekunder. Adapun data
primer dan sekunder adalah :
- Primer
a. Sidik jari
b. profil gigi
c. DNA
- Sekunder
a. Visual
b. fotografi
c. properti
d. medik-antropologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar