BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Adaptasi
Adaptasi adalah
proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Adaptasi merupakan proses perubahan
dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan. Perubahan ini dapat berlangsung
secara lambat maupun cepat dikarenakan faktor alam maupun akibat dari manusia.
Penyesuaian ini yang mengakibatkan makhluk hidup dapat bertahan lama. Karena
banyak berhubungan dengan lingkungan maka ekologi merupakan faktor utama.
Adaptasi ini akan berlangsung terus-menerus untuk tetap dapat bertahan hidup.
Dari berbagai
macam proses dan pola adaptasi maka akan terjadi seleksi. Hal ini akan
mempengaruhi mortalitas(kematian) dan natalitas(kelahiran). Jika suatu organism
lebih besar mortalitas dari pada natalitas maka dapat disimpulkan organism
tersebut tidak bisa beradaptasi dengan baik atau katagori maladaptive. Hanya
organism yang bisa berkembang biak dan survive lah yang dapat dikatagorikan
organism adaptif.
Macam-macam
adaptasi adalah adaptasi biologis, fisiologis dan genetic. Contoh adaptasi
biologis pada masyarakat di daerah ketinggian yakni banyaknya produksi
hemoglobin dalam darah untuk membantu proses pengikatan oksigen dalam darah.
Ini dikarenakan di daerah ketinggian sangat minim kadar oksigennya.
2.2
Mekanisme Adaptasi
Pada
kenyataannya setiap proses adaptasi akan menimbulkan stress terhadap organism
itu. Adaptasi sendiri merupakan hubungan yang kompleks melibatkan fisiologi,
biologi dan aspek social-budaya untuk menghadapi tekanan eksternal yang ada.
Tekanan ini dapat dapat berlangsung dalam waktu yang lam maupun cepat. Proses
adaptasi bertujuan untuk mengurangi stress terhadap lingkungan dalam rangka
penyesuaian diri untuk suatu proses yang menguntungkan organism itu sendiri.
|
2.2.1
Adaptasi Fungsional
|
Adaptasi
fungsional melibatkan perubahan dalam fungsi sistem organ, histologi,
morfologi, komposisi biokimia, anatomi, dan komposisi tubuh manusia. Perubahan
ini dapat terjadi melalui:
Ø Aklimatisasi
Merujuk
pada perubahan yang terjadi pada masa hidup seseorang yang berfungsi untuk
mengurangi ketegangan disebabkan oleh tekanan perubahan iklim atau perubahan
lingkungan secara kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode
pertumbuhan organisme, proses ini disebut adaptasi perkembangan atau
aklimatisasi perkembangan.
Ø Aklimasi
Merujuk
pada perubahan adaptasi biologis sebagai respons terhadap tekanan tunggal
perubahan lingkungan.
Ø Habituasi
Mengimplikasikan
reduksi gradual dari respons terhadap pengulangan stimulasi atau persepsi terhadap
pengulangan stumulasi. Habituasi tergantung dari pembelajaran dan pengkondisian
yang memungkinkan seseorang mentransfer respons yang sudah ada menjadi stimulus
baru. Misalnya pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk
keseluruhan organisme (habituasi umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian
tertentu dalam organisme (habituasi spesifik).
Perubahan
fisiologi terjadi lebih cepat dari pada perubahan genetik dan lebih sering
reversible(tampak mata). Perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat berupa
penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang. Terdapat tiga tingkatan adaptasi
fisiologis, yaitu aklimasi, merupakan penyesuaian jangka pendek terhadap stress
lingkungan yang terjadi secara cepat sedangkan aklimatisasi merupakan
penyesuaian lebih jauh tetapi masih merupakan respon reversible terhadap
perubahan untuk jangka waktu yang lebih lama.
2.2.2
Adaptasi Budaya
|
Adaptasi
budaya adalah adaptasi nonbiologis manusia untuk bertahan hidup. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang hidup dengan berbagai budaya yang mereka ciptakan
berdasarkan pemikiran mereka. Sebagai contoh adaptasi budaya manusia terhadap
perbedaan iklim adalah budaya berbusana. Untuk masyarakat di daerah tropisa
atau dekat dengan pantai mereka cenderung memakai pakaian yang tipis. Sedangkan
yang berada di daerah dingin atau pegunungan cenderung memiliki kebiasaan
memakai pakaian tebal biasanya dari bulu binatang. Jadi, hasil cipta, karya dan
karsa mereka dipengaruhi oleh berbagai hal. Dalam perspektif evolusi, adaptasi
budaya menunjukkan alat terpenting dalam kehidupan manusia. Melalui adaptasi
budaya manusia survive dan dapat tersebar ke berbagai penjuru dunia. Adaptasi
manusia saat ini bisa jadi tidak akan sama dengan masa akan datang. Tetapi
manusia akan terus belajar untuk menyesuaikan diri terhadap kapasitas budaya
dan biologis mereka.
2.2.3
Adaptasi Genetik
Merujuk pada karakteristik turunan
tertentu yang mempunyai toleransi dan survival baik secara individu maupun
populasi. Adaptasi genetic akan sempurna dengan adanya seleksi alam. Seleksi
alam adalah mekanisme dimana genotipe seseorang yang menunjukkan kemampuan
adaptasi atau fitness akan mengurangi resiko mortalitas dan menambah fertilitas.
Sebaliknya gen yang tidak adaptive akan memberi sedikit pengaruh terhadap gene
pool. Adaptasi populasi saat ini adalah hasil dari adaptasi masa lalu dan
adaptasi saat ini. Kapasitas ini memungkinkan manusia sampai pada keseimbangan
dinamik biologis manusia
2.3 Adaptasi
Terhadap Ketinggian
Adaptasi manusia terhadap ketinggian relatif sebagian kecil
dari populasi dunia, hanya sekitar 25 juta orang atau kurang dari 1 %
masyarakat di dunia tinggal di tempat yang tinggi. Beberapa daerah di dunia
yang mempunyai ketinggian di atas 3000 m dpl yang dihuni oleh manusia antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Pegunungan Rocky di Amerika Serikat
dan Canada
2. Sierra Madre di Meksiko
3. Pegunungan Andes di Amerika Selatan
4. Pegunungan Pyrenes di antara Prancis
dan Spanyol
5.
Jajaran
Pegunungan Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan
|
6. Pegunungan Himalaya
7. Dataran Tinggi Tibet dan China
Selatan
8. Pegunungan Atlas di Moroko
9. Dataran Tinggi di Ethiopia
10. Pegunungan Tinggi Kalimanjaro di
Afrika Timur
11. Dataran Tinggi Basuto di Afrika
Selatan
12. Pegunungan Tien Shan di Rusia
Dataran tinggi tibet dan Andes ditempati oleh ras mongoloid.
Penelitian antropometrik dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian Andes
mempunyai dada, paru-paru dan jantung yang besar serta darah dengan rasio korpuskulum
darah merah yang tinggi. Bentuk adaptasi lainnya dari tubuh mereka adalah massa
badan lebih tinggi dari pada permukaan badan. Ini untuk mencegah hilangnya
panas yang berlebihan dalam tubuh.
Penduduk yang mendiami daerah tinggi mengalami adaptasi dasar,
yaitu :
1. Perubahan fisiologis jangka pendek
2. Modifikasi selama pertumbuhan dan
perkembangan
3. Modifikasi gen
Penduduk yang tinggal di pegunungan
tinggi menggunakan obat-obatan seperti alkohol dan coca (tanaman yang
menghasilkan narkotika kokain). Di Indonesia juga mempunyai kebiasaan meminum
arak tradisional untuk menghangatkan badan juga berguna untuk mengurangi beban
psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi membuat penyesuaian anatomis dan
fisiologis yang khas, yang memberinya kapasitas untuk dapat bekerja pada udara
pegunungan yang tipis. Mereka kebanyakan mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih
lambat dan volume thoraks yang besar, dada yang membulat dan tulang sternum
yang panjang mengakomodasi paru-paru yang lebih besar di dalam costae dan
sternum.
2.4 Stress
Lingkungan Terhadap Ketinggian
Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang berbeda
dengan dataran rendah, baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen, topografi,
cuaca, jenis dan komposisi tanah, habitat, dan sebagainya yang kesemuanya
menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang berbeda. Stress lingkungan ini
akan timbul sebelum adaptasi ini dilakukan. Stressor akan memicu penyesuaian
terhadap kondisi tubuh. Jika stressor terlalu kuat dan terjadi dalam waktu
singkat maka sulit bagi tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrem.
Phyle dalam Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian
mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima
stress ekologis yang kompleks, diantaranya:
|
2. Barometer rendah
3. Radiasi matahari tinggi
4. Suhu udara dingin
5. Kelembaban udara rendah
6. Angin kencang
7. Nutrisi terbatas
8. Medan yang terjal
Dengan
bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan udara juga
menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan tekanan dan kadar oksigen
rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam adaptasi fisik maupun
fisiologis manusia yang tinggal di tempat tinggi. Tekanan atmosfer yang rendah
pada tempat tinggi menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat
dimodifikasi oleh campur tangan manusia hingga abad ini.
2.5 Hipoksia
Ketinggian
Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling penting
adalah hipoksia. Hipoksia
yaitu kondisi simtoma
kekurangan oksigen
pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan ketinggian. Pada
kasus yang fatal dapat berakibat koma,
bahkan sampai dengan kematian. Namun, bila sudah beberapa waktu, tubuh akan
segera dan berangsur-angsur kondisi tubuh normal kembali. Gejala yang tampak pada hipoksia
antara lain mual, nafas pendek, dan pusing. Hipoksia pada tempat tinggi
merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh manusia dengan respon budaya
maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ dipengaruhi oleh
hipoksia.
Berdasarkan azas Le-Chatelier, dengan berkurangnya gas oksigen berarti
kesetimbangan akan bergeser ke kiri, dan berakibat kadar HbO2 di dalam darah menurun. Akibat
yang ditimbulkan dari keadaan tersebut, suplai oksigen ke seluruh jaringan akan
berkurang. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya rasa mual dan pusing, serta
perasaan tidak nyaman pada tubuh. Kondisi tersebut akan mengakibatkan tubuh
berusaha beradaptasi dengan memproduksi hemoglobin sebanyak-banyaknya. Dengan
meningkatnya konsentrasi hemoglobin akan menggeser kembali kesetimbangan ke
kanan dan HbO2 akan meningkat kembali seperti semula. Penyesuaian ini
berlangsung kurang lebih 2-3 minggu.
|
Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama tergantung
pada tekanan parsial oksigen di atmosfer, yang secara proporsional menurun
dengan bertambahnya ketinggian. Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03 % CO2,
20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas ini bersama-sama mempunyai tekanan 760
mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan barometer. Tekanan tiap-tiap gas
berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya, sehingga tekanan oksigen
sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer berkurang menjadi
493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan dengan permukaan
laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91 mmHg atau
turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan
berkurangnya kandungan oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan
oksihemoglobin dalam darah tergnatung pada tekanan parsial oksigen dalam
alveoli.
Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian yang
direkayasa setelah mampu membuat pesawat terbang pertama kalinya dan terbang dengan
ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, terutama pesawat militer untuk
peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian lebih dari 3.000 m (10.000
kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2) dengan cepat
turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori. Resiko klinis hipoksia akut pada
ketinggian di atas 10.000 kaki juga kemudian diketahui terutama pada
penerbangan unpressured cabin (kabin tanpa rekayasa udara).
Kondisi-kondisi tersebut diantaranya yaitu penurunan kemampuan terhadap
adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung,
tekanan sistolik pada tekanan darah, dan cardiac output. Sedangkan jika
berlanjut terus akan terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya
pandangan sentral dan perifer, termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran
yang terganggu. Demikian juga kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang.
Pada tahapan yang kritis setelah terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi
berat, maka tingkat kesadaran akan berlangsung hilang dan pada tahap akhir
dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti napas.
Tingkat mengurangi
difusi oksigen dari udara ke darah dalam alveoli yang menyertai penurunan
tekanan udara memicu berbagai respon fisiologis. Mekanisme ini berusaha untuk
mengimbangi pasokan oksigen berkurang dengan meningkatkan efisiensi penyediaan
oksigen dan gunakan untuk jaringan tubuh pada setiap langkah dari proses.
Sebagai perubahan Akibatnya fisiologis terjadi pada ventilasi dalam paru-paru,
difusi oksigen dari udara ke darah di paru-paru, transportasi oksigen dalam
darah, difusi oksigen dari darah ke jaringan, dan penggunaan oksigen pada
jaringan. Dengan
hiperventilasi, hilangnya berlebihan karbon dioksida dari darah meningkatkan pH
(ke arah basa) yang, pada gilirannya, mengurangi stimulasi pusat pernafasan
menyebabkan penurunan ventilasi dan penyerapan oksigen. Hal ini menghasilkan
lingkaran umpan balik positif dalam siklus respirasi meningkat dan menurun. Selama aklimatisasi, ginjal mengeluarkannya
bikarbonat ke dalam air kemih yang kemudian diserap dalam darah untuk
mempertahankan pH normal pada tekanan parsial karbon dioksida yang lebih rendah
(24-48 jam setelah).
|
Radak et al mengemukakan hasil penelitian tentang perubahan
aktivitas enzim antioksidan dan kenaikan level peroksida lipid pada serta.
Hasil serupa ditunjukkan pada studi manusia yang dilakukan oleh Moller et al
(2001). Sebanyak 12 sukarelawan dipajankan pada ketinggian 4559 m yang
berakibat kerusakan pada DNA dan kenaikan peroksida lipid. Pada studi operasi
Everest III, pada ketinggian 6.000 m kenaikan peroksida lipid sebanyak 23 % dan
menjadi 79 % pada ketinggian 8848 m menunjukkan kenaikan level kerusakan
oksidatif sejalan dengan peningkatan ketinggian. Pada level seluler, hipoksia
dapat mengakibatkan stress oksidatif pada sel. Sel menghasilkan energy melalui
reduksi molekul O2 menjadi H2O. Dalam proses metabolism normal, molekul-molekul
oksigen reaktif yang tereduksi dihasilkan dalam jumlah kecil sebagai produk
sampingan respirasi mitokondrial. Molekul-molekul oksigen reaktif tereduksi ini
dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS).
Sel memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah kerusakan akibat molekul ini
yang dikenal sebagai sistem antioksidan. Ketidakseimbangan antara proses
pembentukan dan eliminasi (scavenging) radikal bebas berakibat pada
stress oksidatif.
Seseorang yang belum lama berada pada tempat tinggi akan
mengalami adaptasi fisiologis yang merupakan efek permulaan dan respon cepat
terhadap hipoksia. Menurut Frisancho (1979) dalam Tutiek Rahayu, efek
fisiologis hipoksia sangat kompleks dan bermacam-macam, yang meliputi :
|
Efek fisiologis pada paru-paru
berupa bertambah besarnya ventilais paru-paru seiring dengan bertambahnya
ketinggian tempat. Volume respirasi per menit pada ketinggian 5000 m naik
sekitar 45-69% daripada di daerah permukaan laut. Menurut hasil penelitian saat
ini, kenaikan ventilasi paru-paru disebabkan oleh stimulasi badan varoid dan
kemoreseptor lainnya oleh hipoksemia. Sebagai akibat dari kenaikan ventilasi
pembuangan karbondioksida juga meningkat, yang menyebabkan terjadinya alkalosis
respiratorik.
2. Fungsi Sirkulasi pada Jantung
Dengan bertambahnya hipoksia
kecepatan denyut jantung bertambah dari rerata 70 detak per menit menjadi
sekitar 105 per menit pada ketinggian 4500 m. Jam-jam pertama setelah tiba pada
ketinggian tertentu, denyut nadi saat istirahatmenurun dan kemudian meningkat,
pada ketinggian 2000 m peningkatan adalah 10% dan pada ketinggian 4500 m adalah
50%.
3. Darah
Meliputi kenaikan produksi sel darah
merah dan konsentrasi hemoglobin, kenaikan volume darah serta aktivitas
erythropoietik. Pada ketinggian 5000 m jumlah sel darah merah naik dari 5 juta
menjadi 7 juta per mm3, kenaikan terjadi pada hari ke 7-14 setelah
berada pada ketinggian tersebut. Volume darah bertambah dari 40ml/kg menjadi 50
ml/kg pada ketinggian 4540 m selama 1-3 minggu. Kenaikan produksi sel darah
merah tersebut disebabkan oleh kenaikan aktivitas erythropoietik
4. Sirkulasi Retinal
Setelah 2 jam berada di ketinggian
5330 m diameter arteri dan vena retinal akan naik sekitar seperlimanya.
5. Sensitivitas Cahaya
Semakin tinggi tempat semakin besar
penurunan sensitivitas cahya. Pada ketinggian diatas 4500 m, dibutuhkan sekitar
2,5 kali intensitas normal pada dpl untuk cahaya agar bisa nampak.
6. Memori dan Pembelajaran
Memori akan menurun dengan
bertambahnya ketinggian terutama diatas 3660 m.
7. Pendengaran
|
8. Fungsi Motorik
Pada ketinggian lebih dari 4500 m
dilaporkan terdapat gejala kelemahan dan inkoordinasi muskuler yang belum jelas
disebabkan oleh penurunan kapasitas fungsional otot itu sendiri atau ketiadaan
stimulasi otot.
9. Perasa dan Pengecap
Berada pada tempat tinggi
mempengaruhi pemilihan makanan, pada umumnya lebih suka memilih gula dan
keinginan untuk lemak menurun. Rasa manis gula berkurang pada tempat tinggi dan
dibutuhkan sekitar dua kali jumlah normal untuk rasa manis yang sama di daerah
rendah.
10. Anoreksia dan Kehilangan Berat Badan
Penurunan berat badan disebabkan
oleh penurunan konsumsi makanan dan juga oleh kehilangan air badan. Salah satu
akibat utama anoreksia adaah ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan
energi yang keluar.
11. Aktivitas Ginjal
Terjadi kenaikan aktivitas pada
korteks dan medulla ginjal, reduksi sekresi aldosteron dan kenaikan kadar renin
dalam plasma
12. Fungsi Tiroid
Berada pada tempat tinggi
menyebabkan penurunan fungsi tiroid serta retensi iodium.
13. Sekresi Testosteron
Berada pada ketinggian 4250 m selama
3 hari pertama menyebabkan penurunan sekresi testosteron lebih dari 50% yang
disebabkan oleh turunnya Luiteinizing Hormon dalam plasma
14. Fungsi Seksual
Meliputi penurunan spermatogenesis,
perubahan histologis pada testis, terganggunya seklus estrus dan meningkatnya
gangguan menstruasi
Toleransi terhadap tempat tinggi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya yaitu umur, ketahanan fisik, dan jenis kelamin. Individu
yang masih muda lebih baik dalam melakukan adaptasi daripada yang sudah tua,
ini disebabkan karena fungsi metabolisme tubuh pada usia muda masih baik juga
mobilisasi air plasma dalam ruang interstitial atau ekstraseluler. Individu
dengan ketahanan fisik yang tinggi memberi toleransi terhadap stress hipoksia
lebih baik. Perempuan melakukan adaptasi terhadap ketinggian dengan lebih baik
daripada laki-laki.
2.6
Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
|
2.6.1
Adaptasi Fungsional
Setelah
efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan dengan
menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang
berkembang secara gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga
beberapa tahun untuk perkembangan yang lengkap. Frisancho (1979)
menyebutkan beberapa mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi
berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada
jaringan, terjadi melalui modifikasi :
a. Ventilasi paru-paru.
b. Volume paru-paru dan kapasitas
difusi pulmoner.
c. Transport oksigen dalam darah.
d. Difusi oksigen dari darah ke
jaringan.
e. Penggunaan oksigen pada tingkat
jaringan.
Penduduk
asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak lahir
atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada
subjek yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang
beraklimatisasi pada tempat tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25%
variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat dijelaskan dengan faktor
perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al 1995 dalam
Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas
aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat
tinggi sebelum umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada tempat tinggi berhubungan dengan
aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.
Kapasitas untuk
beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap individu. Beberapa
orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat
menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh.
Salah satu
penyebab stress lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan udara yang
rendah yang menjadi faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.
Presentase
oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level
(21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh
disebabkan molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul
tersebut saling berjauhan. Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan
atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2 yang menyebabkan oksigen dengan
mudah melewati membrane permeable selektif paru menuju darah. Pada ketinggian
tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk memasuki sistem
vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan oksigen.
|
Ketika
kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses
terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan
kapasitas paru yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa
Negara lain sering melatih para atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan
fisiologik ini hanya berlangsung singkat. Pada beberapa minggu tubuh akan
kembali pada kondisi normal.
2.6.2
Adaptasi Budaya
Adaptasi
ini adalah kebiasaan-kebiasaan penduduk untuk menyikapi keadaan alamnya
sehingga terbentuklah kebudayaan-kebudayaan. Dengan kata lain, adaptasi budaya
yaitu respon nonbiologis individu atau populasi untuk memodifikasi atau
mengurangi stess lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang
mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat
bertahan hidup dan mendiami jauh ke kondisi lingkungan yang ekstrim. Manusia
adalah satu-satinya makhluk yang mempunyai kebudayaan, seperti membuat
alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk
berkomunikasi, serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk
menghadapi lingkungan. Tidak seperti makhluk lain yang mengeksploitasi dan
beradaptasi terhadap lingkungan dengan biologi dan raganya. Wujud adaptasi
budaya manusia misalnya :
|
Konstruksi rumah di dataran tinggi
biasanya dibangun dengan tembok yang lebih tebal atau dari kayu untuk menjaga
kehangatan suhu ruangan. Ventilasi dan jendela besar, kadang banyak agar
sirkulasi udara baik mengingat tekanan oksigen di daerang tinggi relatif kecil.
b. Penggunaan pakaian pada
bermacam-macam iklim
Penduduk yang tinggal di daerah
tinggi dengan hawa dingin menggunakan pakaian yang tebal untuk menghindari
hilangnya pengeluaran panas yang berlebihan dari tubuhnya.
c. Pola tingkah laku tertentu
Penduduk di daerah tinggi cenderung
lebih sering berjalan kaki jauh daripada yang tinggal di daerah perkotaan
sehingga lebih kuat berjalan kaki.
d. Pengobatan dari cara primitif sampai
cara modern
Penggunaan informasi budaya yang
dilakukan oleh kelompok sosial dan ditransformasikan melalui pembelajaran pada
tiap generasi merupakan salah satu bentuk respon adaptif yang berkembang pesat
pada manusia, contoh salah satu aspeknya adalah perkembangan sistem medis.
e. Kebiasaan kerja yang menunjukkan
adaptasi terhadap stress iklim
Kenaikan produksi energi yang
menyertai revolusi industri dan pertanian.
Budaya dan teknologi mempermudah
adaptasi biologi, tetapi juga menciptakan dan terus menciptakan kondisi stress
baru yang membutuhkan respon adaptasi baru pula. Suatu modifikasi kondisi
lingkungan dapat dihasilkan oleh perubahan yang lainnya, misalnya kemajuan
dalam ilmu pengetahuan kedokteran dengan sukses mengurangi kematian bayi dan
orang dewasa pada tingkat di mana populasi dunia tumbuh pada kecepatan
eksplosif dan meskipun sumber makanan bertambah, tetap akan terjadi kelaparan.
Teknologi
barat meskipun menaikkan standar hidup juga menciptakan polusi lingkungan yang
menjadikan hidup dan kesehatan tidak bagus lagi. Jika proses ini berlangsung
terus tanpa kontrol, polusi lingkungan akan menjadi suatu kekuatan selektif
lain yang menuntut manusia harus beradaptasi melalui proses biologis dan budaya
jika tidak maka, akan mengalami kemusnahan. Adaptasi yang dilakukan manusia
pada dunia sekarang mungkin tidak sesuai lagi dengan bentuk pertahanan hidup di
dunia pada masa yang akan datang, kecuali manusia belajar untuk menyesuaikan
budaya dengan kapasitas biologisnya.
|
2.7 Pertumbuhan
dan Perkembangan Anak Pada Ketinggian
2.7.1
Pertumbuhan
dan perkembangan prenatal
Pada
daerah tinggi, struktur prenatal terutama plasenta mengalami penyesuaian dikarenakan
stress lingkungan tempat tinggi, yaitu dengan menambah luas permukaan yang
menyediakan proses difusi oksigen dan transfusi darah ibu dari fetus, serta
dengan mengurangi resistensi barier plasenta terhadap transfer oksigen.
Penelitian menunjukkan bahwa bentuk plasenta yang irreguler terdapat tiga kali
lebih banyak pada tempat tingi dari pada di daerah permukaan laut dan berat
plasenta rata-rata antara 10-15% lebih berat. Dengan modifikasi tersebut
menghasilkan reduksi hampir setengah dari gradien tekanan oksigen antara darah
ibu dan fetus, dan konsentrasi oksigen mencapai darah fetus per kg jaringan
yang disuplai mendekati nilai pada daerah permukaan.
Penelitian
di daerah tinggi Bolivia dan Himalaya Barat menunjukkan bahwa bayi yang lahir
didaerah tinggi cenderung mempunyai berat lahir yang rendah. Rata-rata berat
lahir tidak mencapai 2500g. Di daerah Bolivia, bayi yang lahir dengan berat
lahir rendah mempunyai angka mortalitas lebih rendah daripada yang lahir dengan
berat rendah di daerah pantai. Ini merupakan bentuk adaptif di daerah tinggi
dimana kadar oksigen rendah.
2.7.2
Pertumbuhan
dan perkembangan postnatal
Pertumbuhan
dan perkembangan di daerah tinggi cenderung mengalami penundaan. Penelitian
secara mikroskopis menemukan bahwa kemunduran pertumbuhan yang disertai
hipoksia tempat tinggi disebabkan oleh jumlah sel yang lebih sedikit, sedang
yang disertai malnutrisi disebabkan oleh penurunan jumlah sitoplasma.
Penelitian lain menunjukkan bahwa hipoksia mempengaruhi multiplikasi seluler
dan protein otak. Penelitian pada populasi Andes seperti dari dataran tinggi
Peruvia, Chili dan Bolivia menunjukkan terdapatnya penundaaan pertumbuhan
postnatal dibandingkan dengan populasi daerah rendah dibawah kondisi nutrisi
dan status ekonomi yang sebanding.
Pertumbuhan
anak-anak pada daerah tinggi dan daerah pantai tidak menemukan adanya perbedaan
dalam kecepatan pertumbuhan pada kedua populasi dan menduga bahwa hipoksia pada
tempat tinggi mempunyai peranan yang relatif kecil dalam pertumbuhan selama 5
tahun pertama setelah kelahiran dan nampaknya yang lebih berperan adalah faktor
nutrisi dan penyakit.
|
Pola
pertumbuhan dan perkembangan di tempat tinggi merupakan refleksi interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh besar
yaitu hipoksia, dingin dan energi (nutrisi).
2.8
Aklimatisasi Terhadap Ketinggian
Setelah beberapa
waktu tinggal di ketinggian terjadilah penyesuaian dengan iklim lingkungan
setempat (aklimatisasi). Ventilasi paru terus meningkat dan juga terjadi
peningkatan progresif dari jumlah eritrosit dan Hb dalam beberapa bulan yang
akan membantu memulihkan kandungan O2 dan transportasinya. Juga terdapat
peningkatan kapilarisasi dan konsentrasi enzym-enzym oksidatif dalam otot-otot
yang akan berperan meningkatkan performance. Perubahan-perubahan adaptif ini
meningkatkan kemampuan endurance, tetapi tidak akan pernah mencapai nilainya di
permukaan laut. Waktu untuk terjadinya aklimatissi penuh tergantung pada
ketinggian dan bersifat individual. Diperlukan waktu sekitar 3 minggu untuk
beraklimatisasi terhadap ketinggian sedang (2300-2700 m). Walaupun telah
diperlukan waktu untuk terjadinya penyesuaian-penyesuaian ini, pada ketinggian
2300 m konsumsi O2 maximal tetap turun 6-7% di bawah nilai yang dapat diperoleh
di permukaan laut. Hal ini berarti bahwa proses aklimatisasi memulihkan 3-4%
kemampuan penampilannya. (Ingat: nilai konsumsi O2 max menurun 3% untuk setiap
kenaikan 300 m di atas ketinggian 1500 m). Tetapi di atas 6000 m aklimatisasi
tidak mungkin dan dengan pemaparan yang lama orang akan mengalami kemunduran,
kehilangan berat badan dan kemampuan penampilannya.
2.9 Patofisiologi
Terhadap Ketinggian
Patofisiologi ketinggian yang dimaksud adalah penyakit
fisiologis yang disebabkan oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat
beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti mountain sickness akut
dan edema pulmoner. Mountain sickness akut terjadi selama beberapa hari
pertama berada pada hipoksia tempat tinggi. Gejalanya umumnya meliputi
anoreksia, mual dan muntah, kelelahan fisik dan mental, gangguan tidur dan
sakit kepala. Sementara edema pulmoner mempunyai ciri patologis seperti edema
yang tersebar luas pada alveoli, penyumbatan ekstensif kapiler dengan bekuan
sel darah merah dan konstriksi vaskuler pulmoner. Penyebabnya diduga karena
kenaikan tekanan kapiler.
|
1.
Penyakit Gunung Akut
kondisi
yang sering dialami pada 4-72 jam pertama pada ketinggian di atas 2000 m. Hal
ini disertai dengan gejala-gejala misalnya sakit kepala, mudah tersinggung,
susah tidur, pusing, mual, tak ada nafsu makan dan muntah. Berat gejala-gejala
tersebut bagian terbesarnya tergantung pada kecepatan pendakian. Penyakit
gunung akut (PGA) dapat diminimalkan bila pendakian dari ketinggian rendah
(<1500 m) ke ketinggian sedang (>2000 m) berlangsung lambat meliputi
beberapa hari, asupan cairan dan karbohidrat dalam tata-gizi ditingkatkan dan
program latihan diatur pada tingkat yang ringan. Biasanya penyakit itu hanya
berlangsung untuk 2-3 hari. Acetazolamide (Diamox = sejenis diuretika) terbukti
dapat meminimalkan kejadian PGA (Sutton et al. 1979).
2.
Udema Paru Pada Ketinggian Tinggi
Kegawatan
medis dan memerlukan pertolongan segera dan bila mungkin dievakuasi. Perjalanan
waktunya sama dengan PGA. Gejalanya yang menonjol meliputi sesak nafas, batuk,
rasa tak nyaman di dada. Pertolongan terdiri dari mengistirahatkan penderita
dalam posisi tegak (mengurangi udeme paru), memberi O2, frusemide (Lasix -
diuretika) dan bila mungkin segera evakuasi.
3.
Udema Cerebral Pada Ketinggian
Tinggi
Hal
ini jarang, tetapi merupakan ancaman maut yang terjadi pada ketinggian lebih
dari 4000 m. Gejalanya meliputi sakit kepala yang hebat, disorientasi,
halusinasi dan coma, dan pertolongan memerlukan terapi O2, kortikosteroid
intravena dan segera evakuasi ke dataran rendah.
4.
Perdarahan Retina Pada Ketinggian
Pada
ketinggian di atas 3500 m perdarahan-perdarahan kecil dapat terjadi di retina.
Biasanya asymptomatik kecuali bila terjadi di daerah macula lutea maka akan
terjadi gangguan penglihatan. Perkiraan bahwa pendaki-pendaki gunung yang
terlatih akan mendapat risiko yang lebih sedikit terhadap masalah-masalah
ketinggian ternyata tidaklah benar. Bahkan pendaki-pendaki besar seperti Sir
Edmund Hillary (orang pertama yang mencapai puncak Gunung Everest) juga
menderita beberapa kegawatan medis oleh ketinggian, yang mengancam maut.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Adaptasi manusia merupakan
penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan manusia untuk menjaga atau
memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya.
2.
Mekanisme adaptasi manusia dilakukan
untuk menghadapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi
normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan
lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri
dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi
fisiologis, psikologis, sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan
lingkungan bentuk fungsional organisme dapat bersifat temporal atau permanen
melalui proses yang pendek atau seumur hidup meliputi fisiologis, struktural,
tingkah laku dan perubahan budaya. Berdasarkan sifatnya, secara garis besar,
adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi dan adaptasi budaya.
3.
Perbedaan dalam ketinggian mempunyai
perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis
yang kompleks, diantaranya hipoksia, barometer rendah, radiasi matahari tinggi,
suhu udara dingin, kelembaban udara rendah, angin kencang, nutrisi terbatas,
dan medan yang terjal. Secara fisiologis, stress lingkungan yang paling penting
adalah hipoksia yang mempunyai efek pada fungsi paru-paru, fungsi sirkulasi
pada jantung, darah, sirkulasi retinal, sensitivitas cahaya, memori dan
pembelajaran, pendengaran, fungsi motorik, perasa dan pengecap, anoreksia dan
kehilangan berat badan, aktivitas ginjal, fungsi tiroid, sekresi testosteron,
dan fungsi seksual.
4. Mekanisme adaptasi manusia terhadap
ketinggian terdiri atas adaptasi biologi dan budaya. Adaptasi biologi manusia
dari ketinggian terjadi secara fisiologis, genetis, dan biokimia. Mekanisme
adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan
ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui
modifikasi ventilasi paru-paru, volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner,
transport oksigen dalam darah, difusi oksigen dari darah ke jaringan, dan
penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
|
|
3.2 Saran
Karya tulis
belum sempurna, saya berharap suatu saat nanti aka nada yang menyempurnakan
karya tulis ini. Karya tulis ini juga berdasarkan pada data pustaka yang ada
bukan melalui penelitian. Di Indonesia sendiri masih jarang orang yang mau
meneliti kasus ini. Saya berharap karya tulis ini bisa berguna bagi pembaca dan
dapat dilanjutkan khususnya untuk diterapkan di Indonesia yang merupakan pusat
pertemuan barisan gunung dan pertemuan lempeng sehingga potensial sekali
terhadap adaptasi pada ketinggian.
DAFTAR
PUSTAKA
Cavalleri, Dr. Gianpiero. 2012.
“Irish scientists uncover genetic secrets of human adaptation to high
altitude”. < http://www.rcsi.ie/index.jsp?p=110&n=903&a=1632
>. Biomedical Research Lecturer, RCSI.
Denis.2011. “Adapting to High
Atitude”.
Denny Z,
Levett & for the
Caudwell Extreme Everest Research Group. Jurnal
published 2010. “The role of nitrogen oxides in human adaptation to hypoxia”.
< http://www.nature.com/srep/2011/111006/srep00109/full/srep00109.html>.
J. L. Rupert and P. W. Hochachka. 2001.
“Genetic approaches to understanding
human adaptation to altitude in the Andes”.
Department of Pathology and Laboratory
Medicine and 2Department of
Zoology, The University of British. Columbia, Vancouver, Canada V6T 2B5.
Laura B Scheinfeldt, Sameer Soi, Simon Thompson, Alessia Ranciaro, Dawit
Woldemeskel, William Beggs, Charla Lambert,
Joseph P
Jarvis, Dawit Abate, Gurja Belay and Sarah A Tishkoff. Jurnal Published 20 Januari 2012. “Genetic
adaptation to high altitude in the Ethiopian highlands”.< http://genomebiology.com/2012/13/1/R1 >. licensee BioMed Central Ltd.
Moore, Lorna G. 2000.“ Respiration
Physiology”. Department of
Anthropology. University of Colorado at Denver, Denver, CO, USA.
_______________.2010.
”Rapid Human adaptation ti the high attitudes”. <
http://massgenomics.org/2010/08/rapid-human-adaptation-to-high-altitudes.html>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar